Selasa, 24 Maret 2009

PKS Disamakan Soeharto Sebuah Fantasi

Oleh
Fajlurrahman Jurdi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial Indonesia.

Tribun Timur Sabtu, 27-12-2008

Soeharto - oleh PKS - disamakan dengan Ahmad Dahlan, disetarakan dengan Soekarno, dipadukan dengan Mohammad Natsir. Betul-betul sebuah fantasi yang penuh godaan, namun itu adalah khayalan-khayalan yang menjijikan
Membaca tulisan Aswar Hasan, "PKS: Partai Kroni Soeharto" (Tribun, 18/12) membuat saya tergelitik sekaligus terkekeh, bahwa pandangan Aswar terhadap cita-cita reformasi masih belum kabur.
Ingatan masa lalu yang melekat dalam dirinya masih segar, sehingga kita harus mengatakan, bahwa seorang Aswar tidak mengalami penyakit amnesia akan sejarah masa lalu, sebagaimana yang menghinggapi sebagian besar anak bangsa yang lain, termasuk obyek dalam tulisannya.
Di saat sebagian besar anak bangsa mengidap penyakit "gila" ini, Aswar masih punya ingatan yang tajam akan apa yang telah diikrarkan disaat Soeharto mengalami delegitimasi dan di usir dari panggung politik secara sadis dan menggelikan.
Kacamata berpikir yang digunakan, ide yang dibangun serta gagasan yang lontarkannya, tentu merupakan keresahan akan fenomena penyakit Amnesia yang tidak memiliki obat untuk menyembuhkannya dengan baik, terutama bagi mereka yang berkuasa dan dikuasai di negeri yang hampir "biadab" saat ini.
Tulisan ini ditanggap oleh Irwan (Tribun, 22/12), anak muda yang menurut saya sedang mengalami penyakit amnesia sebagaimana kebanyakan anak muda yang lain.
Saya tahu siapa Aswar Hasan dan kenal siapa Irwan. Tulisan ini menohok menurut saya, karena sedang membela PKS yang memiliki "narasi besar" untuk membangun bangsa ini. PKS sebagai partai baru yang lahir dari jerih payah reformasi, tumbuh menjadi partai besar dan diharapkan sebagai alternatif bagi Indonesia dengan komitmen ideologinya, sebuah harapan bagi siapa saja yang hidup dalam ketidakjelasan transisi demokrasi yang penuh ambisi dan nafsu.
Sebagai partai baru yang lahir dari rahim reformasi, tentu semua orang sadar, bahwa PKS sedang ingin menata Indonesia yang ambruk tidak berdaya menghadapi sirkulasi demokrasi liberal yang penuh gagap dengan pesona gilanya. Selain partai baru, PKS memiliki ciri khas, yakni partai yang "dianggap" banyak orang sebagai partai "ideologis", suatu penempatan yang luar biasa disaat Indonesia tidak memiliki satupun partai Ideologi.
Inilah yang disinyalir oleh Duverger dalam "A Caucus and Brand, Cadre Party and Mass Party", Political Parties (1963). Duverger hanya mengakui dua kategori partai, yaitu partai ideologis atau kader dan partai massa. Dalam konteks ini, PKS pada awalnya adalah partai kader, tetapi lama kelamaan berubah haluan menjadi partai "fantasi". Yaitu bukan partai kader, juga bukan partai massa, tetapi partai yang ada ditengah sebagaimana kata Irwan.
Padahal ada di tengah hanya ada satu yang pasti, yaitu: Fantasi. Ini kemudian betul dengan gaya politik PKS yang suka berfantasi ria tentang Indonesia, tentang Islam, tentang simbol politik, persis seperti tulisan saudara irwan.
Ia ingin seperti pelangi, berubah dalam ketidakpastian, sama dengan ketidakpastian Indonesia yang sedang berfantasi.
Di Indonesia pasca Orde Baru, tanpaknya adalah problem yang menimpa pemilik otoritas, baik otoritas negara maupun pemilik otoritas partai. Pemilik otoritas partai mengalami kegagapan serius ke mana reformasi hendak dibawa.
Aswar adalah seorang intelektual yang masih konsisten dengan moralitas Islam, cita-cita reformasi dan problem-problem yang dihadapinya. Ia juga masih percaya akan masa lalu, tetapi bukan berarti "memberhalakan" masa lalu yang dipercayainya.
Aswar masih memiliki keterkaitan dengan kekuasan Soeharto, sebab pada masa itu, ia telah hidup di dalamnya, dibesarkan, dididik dengan kepongahan, namun tidak berdaya, sama dengan tidak berdayanya Fajroel Rahman yang dipenjarakan oleh rezim yang hampir tidak waras itu.
Utang negara menumpuk, oligarki dibangun dengan megah sambil menindih rakyat, harta dikumpul dengan keringat rakyat, mereka yang mengkritik dihancurkan dengan gaya Fir'aun. Soeharto adalah benar-benar seperti cerita Hannah Arend yang mengungkap kejahatan Nazi, ia setara dengan fasisme, mungkin ia berguru pada teks-teks klasik Fir'aun.
Soeharto - oleh PKS - disamakan dengan Ahmad Dahlan, disetarakan dengan Soekarno, dipadukan dengan Mohammad Natsir. Betul-betul sebuah fantasi yang penuh godaan, namun itu adalah khayalan-khayalan yang menjijikan.
Demi massa, saudara Irwan menafikkan ideologi, demi massa ia lari dari keyakinannya, bahkan demi massa barangkali PKS dan saudara Irwan akan keluar dari Islam. Ini bisa dilihat dalam tulisan dan keyakinannya, menghapus diri dalam hingar-bingar politik aliran, tetapi tetap mengaku PKS sebagai partai yang berideologi Islam, ingin meniadakan simbol demi pemilu 2009, padahal di dalam PKS mereka yang taat beragama, celana bergantung, kopiah menempel di kepala ke mana-mana sebagai simbol politik.
Sebagai partai reformasi seharusnya PKS sadar diri, bahwa masa lalu tidak boleh dilupakan, juga tidak harus dijadikan sebagai dendam, dengan demikian, masa lalu beserta kesalahannya harus dimaafkan. Namun menempatkan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional, adalah melupakan masa lalu, bukan memaafkan masa lalu.

Memaafkan masa lalu adalah untuk menjadi arif agar bisa belajar dari dosa-dosa masa lalu, tetapi menghadirkan Soeharto beserta segala kebusukan yang dibangunnya dimasa lalu, adalah betul-betul tindakan yang "tidak waras".
Tingkah laku PKS belakangan ini, menurut hemat saya sebagai orang awam, telah terpisah dari akar persoalan masa lalu, serta hendak berpisah dari ideologi yang dianutnya. PKS sudah mulai tidak percaya dengan keyakinannya, ini terbukti dengan keinginannya menjadi partai yang terbuka, membuka sekat-sekat ideologi, dan berkoalisi dengan partai-partai sekular.
Di saat yang sama ia tetap tampil sebagai kekuatan ideologis. Inilah tingkah laku politik partai, yang dalam kajian ilmu politik disebut perilaku politik (political behavior).
Karena PKS meragukan keyakinan dan hendak menjadi partai "tengah", tidak ke-kiri, juga tidak hendak ke-kanan, maka perilaku politiknya menjadi ambivalen. Di satu sisi secara faktual ia adalah partai kanan konservatif, melebihi PBB dan PPP, namun di sisi lain, takut tidak menang di Pemilu 2009.
Ketakutan ini, jika tidak di rem dengan keyakinan ideologis yang kuat, maka akan terseret arus pragmatisme yang betul-betul menjijikkan. Dan inilah yang sedang menubruk PKS sekarang.
Sikap politik yang mudah berubah seperti bunglon, adalah sikap orang-orang "munafik" sebagaimana yang disinyalir dalam Al Quran.
Ada pembelaan terhadap partai yang begitu kuat, bahkan berani memposisikan partai sama dengan "Islam", adalah sikap naïf orang-orang tidak sehat cara berpikirnya. Karena itu, perlu ada pemisahan dan tidak mencampuradukkan partai sebagai kendaraan politik dan Islam sebagai suatu keyakinan.
Saya menganggap, bahwa Aswar Hasan dengan segenap kelemahan dan kelebihannya, hendak mengatakan kegelisahannya melihat tingkah laku politik PKS yang mulai mengalami tua renta, melewati renta-nya Golkar, PDIP dan PPP sebagai partai lama. PKS sebagai partai yang baru lahir "kemarin sore", secara tiba-tiba dan mengejutkan lupa akan dosa-dosa Soeharto.
Lupa akan segala jerih payah mereka yang telah meruntuhkan Soeharto dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Berbeda dengan saudara Irwan yang masih muda belia seperti muda dan belianya PKS, sedang mengalami penyakit amnesia yang berbahaya. Jika anak muda kita mengidap penyakit "gila" ini, maka tunggulah kehancuran Indonesia.
Karena hari ini seorang tokoh koruptor dipenjara dan tahun depan keluar dari jeruji itu, maka oleh orang-orang yang mengidap penyakit amnesia, sang tokoh koruptor ini juga akan dinobatkan sebagai guru bangsa dan pahlawan nasional. Kalau ini yang terjadi, betul-betul gila dan tidak waras lagi kita sekarang.
(Tribun)

Tidak ada komentar: