Jumat, 03 Agustus 2007

FORMASI NEGARA NGALI DALAM TRANSHEGEMONI POLITIK LOKAL; MENYINGKAP TAFSIR KONTEKSTUAL DEMOKRASI LOKAL

Istilah formasi dalam tulisan ini mengandaikan sebuah struktur kekuasaan yang hierarkis, menindas dan seakan-akan berada dalam situasi pasca kolonial yang pendek yang kemudian menjebak masuk ke dalam sebuah struktur kekuasaan yang timpang. Formasi bukan hanya sekedar sebuah fenomena yang mengandaikan struktur semata sesungguhnya, akan tetapi juga Formasi menyangkut sebuah keadaan yang dirangkaikan dengan realitas lain yang juga berada dalam sebuah struktur yang sama, sehingga saya ingin menyebutnya sebagai transtruktur. Transtruktur menyangkut saling menyilangnya antara struktur yang satu ketika berhadapan dengan struktur yang lain, yang di dalamnya bangunan struktur menjadi sangat resisten, karena menyangkut akumulasi antara berbagai struktur, sehingga memiliki formasi yang sangat rapi, tertata, dan memiliki preferensi yang jelas, yaitu masyarakat massa ditingkat kultural dan kekuasaan pengambil kebijakan dalam tata sturktural.
Negara Ngali adalah sebuah terminologi untuk menjelaskan sebuah komunitas baru dalam lingkungan masyarakat dengan berbagai narasi yang sangat multikultur, multikepentingan dan sekaligus di dalamnya penuh dinamika. Pada dasarnya ngali bukanlah sebuah terminologi, tetapi tulisan ini ingin menjelaskan bagaimana pertarungan intelektual, perjumpaan kepentingan dan persaingan politik dalam sebuah komunitas lokal yang tidak bisa dibaca sepenuhnya dengan menggunakan kerangka berpikir yang paling minimalis apalagi ingin menggunakan teori konvensional. Maka pendekatan dalam tulisan ini adalah pendekatan semiotik dan sekaligus ingin menafsir secara holistik tentang realitas ke-ngali-an dalam berbagai fenomena termasuk masuknya ideologi politik dominan dalam masyarakat yang jumlah kuantitasnya kecil, tetapi dinamika dan pertarungannya sangat besar.
Transhegemoni, adalah istilah untuk menjelaskan keterkaitan antara berbagai kepentingan dan struktur kekuasaan yang ada, sehingga dalam setiap institusi yang dianggap independen, ternyata terjadi silang-menyilang kepentingan, mulai dari persoalan premanisme, pembunuhan, mitologi, takhayul, kekuasaan formal dan kekuasaan tradisional, turisme intelektual, dan segala persoalan yang dianggap sebagai berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan ini bukan dibangun atas dasar kesadaran untuk melakukan perubahan, tetapi hubungan ini dibangun atas nama kepentingan yang penuh kebusukan dan pengkhianatan.
Menurut Yasraf Amir Piliang (2005; 24) istilah transhegemoni digunakan untuk menjelaskan fenomena persilangan dan peleburan antara hegemoni politik dan hegemoni budaya massa di dalam abad informasi dan globalisasi dewasa ini, dalam pengertian cara, bentuk, media dan strategi-strategi hegemoni yang dipakai di dalam budaya massa (iklan) kini digunakan sebagai cara, bentuk, media, dan strategi hegemoni politik dalam rangka mendapatkan kekuasaan politik.
Sementara hegemoni itu sendiri adalah merupakan cara untuk mempermainkan, menguasai dan menindas orang/komunitas lain, dimana orang/komunitas yang dipermainkan, dikuasai dan ditindas tidak merasakan tingkah laku pemain tersebut. Sebagai lawan dari hegemoni, Antonio Gramsci memasukkan dominasi sebagai upaya penguasaan secara fisik terhadap orang/komuitas lain tersebut, sehingga perasaan orang yang dikuasai di obok-obok. Model dominasi ini bisa kita lihat pada masyarakat kolonial yang melakukan perampokan terhadap hak-hak kemanusiaan orang lain, sehingga hak-hak kemanusiaan itu diperkosa oleh mereka yang mengatasnamakan kekuasaan dan demokrasi. Menghindari dominasi tentu saja mudah, karena tingkah laku dominasi bisa dibaca secara manual. Bagi yang ingin menghindari dominasi bisa lari dari proses kejahatan dominatif itu, semen4ara kalau hegemoni, orang tidak merasakan kapan dirinya dipermainkan, dikuasai, dan ditindas. Tafsir ideologi dominan adalah merupakan salah satu to.tonan gila yang bisa kita saksikan dari frame hegemoni.
Awalnya konsep hegemoni oleh Gramsi diperuntukkan bagi pendekatan ilmu politik. Sama dengan tulisan ini, istilah transhegemoni ingin membongkar absurditas realitas sosial bukan hanya dari sudut pandang politik, karena jika demikian, maka hegemoni mengalami tafsir yang sangat resisten, yaitu “hegemoni tafsir” terhadap hegemoni itu. Maka penulis ingin keluar dari “hegemoni tafsir” terhadap hegemoni, yaitu menarik dan menyilangnya dengan tafsir yang lain yang paling tidak secara struktural memiliki makna partsipasif dan struktural open relation dengan kepentingan realitas sosial. Sementara secara kultural mampu menyingkap kebusukan realitas kultural sebuah komunitas yang di dalamnya hidup berjuta pikiran, kultur, kerangka dan formasi sosial, sampai pada kumpulan turisme intelektual yang lapuk menggerogori wajah tua realitas sosial komunitas dalam pembahasan ini.
Sekiranya realitas sosial dalam konteks ini berada dalam dunia yang multikepentingan, multikultur, dan multiformasi, maka pendekatan yang digunakan hanyalah pembongkaran secara ideologis dan penyingkapan secara struktural semua realitas sosial itu demi membangun masyarakat yang beradab diatas pesan-pesan nabi-nabi sosial, dan rasul-rasul proletariat. Kegilaan masyarakat dalam komunitas kultural dalam memandang realitas sosial bukan hanya sekedar sebuah euforia tradisi masyarakat, akan tetapi ketidakmampuan mereka menangkap arus hegemoni wacana domina dan tafsir hegemonik dari kekuasaan lokalitas yang sangat mengandalkan watak heuristik, resistenstif, dan anti emansipatoris.

FORMASI NEGARA NGALI; KELUAR DARI FRUSTASI SOSIAL

Negara ngali diandaikan sebuah federasi struktur tyang memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap komunitasnya, bahkan melampaui negara induknya. Negara ngali bukan hanya sekedar sebuah imajinasi rejektif, tetapi negara ngali akan menjadi sebuah kenyataan ketika diperhadapkan pada substansi masyarakat ngali yang sesungguhnya. Negara ngali dalam konteks kekinian adalah sekedar wacana penghibur jika dipandang dari kekakuan aliran pikiran tiran yang positivistis, karena tidak ada istilah negara ngali di peta global dan dalam hubungan antar negara tidak akan ditemukan. Biar peta global itu diobok-obok dan diincar-incar dengan menggunakan mikroskop tercanggih di republik manapun, termasuk di republik BBM. Negara ngali akan lenyap dan sesunggunyya memang lenyap dari realitas sosial jika dipandang dari panggung pikiran positivistis itu. Yang adA hanyalah negara bagian Chic!go, negara bagian Califonia dan Negara Federal Amerika. Negara ngali lenyap dibawah keganasan ke-Indonesia-an yang semakin arogan dengan tafsir uniformitas ideologi dominannya.
Kemungkinan orang Indonesia akan menganggap penulis tidak waras ketika mengajukkan negara ngali dalam konteks ke-Indonesia-an, karena itu adalah bentuk “murtad” dari realitas sosial bahkan bisa disebut gerakan separatis. Tetapi akankah ngali akan menjadi negara? Sebuah pertanyaan yang harus saya jawab sendiri dalam catatan liar ini.
Ngali bisa menjadi sebuah negara jikalau saja Indonesia adalah negara federal. Sekalipun ngali adalah komunitas kultur yang sangat kecil, proses administrasinya kemungkinan akan ditolak, karena terlalu mungilnya negara ngali tersebut. Tetapi jika seorang intelektual berpikiran cerdas dan lebih open minded, ngali kemungkinan bisa menjadi sebuah negara, yaitu negara bagian ngali. Tetapi ini sekali lagi adalah mimpi orang-orang yang frustasi dan sekaligus keluar dari frame publik. Secara jujur, saya ingin mengatakan, bahwa ngali secara substanstif adalah sebuah negara, yaitu negara dalam preferensi yang sangat minimalis. Jika kita menarik ulur sejarah masa lalu, di dalam city state Yunani Kuno, dimana Pericles, Hipias, Plato, Aristoteles dan Sokrates hidup, masyarakat pada saat itu sangat kecil. Ideologi yang hidup adalah ideologi uniform, arus politik yang bermain adalah arus politik satu arah dan demokrasi yang dijalankan adalah demokrasi langsung.
Jika kita mau jujur pada realitas sosial dan pada anak ngali yang masih hidup dalam kerangkeng komunitasnya, mereka sesungguhnya adalah individu-individu bebas yang tidak ingin diatur secara formalistis oleh negara. Sehingga bentuk protes mereka terhadap negara adalah menjadi preman sebagai salah satu bentuk deideologisasi dan demitologisasi terhadap keberadaan negara. Negara Indonesia bagi masyarakat ngali-khususnya yang belum mengalami transformasi kultur – adalah kumpulan para bandit birokrasi yang bukan hanya haram diikuti aturan main yang mereka perbuat, tetapi juga diatas segalanya mereka harus digiring ketiang gantungan untuk dieksekusi demi mempertanggungjawabkan perilaku bejatnya dihadapan publik.
Akibat dari perilaku kekuasaan negara raksasa Indonesia yang serakah itu, komunitas masyarakat ngali kemudian ingin “murtad” dari arus utama kepentingan negara. Sehingga premanisme menjadi sebuah “drama gila” dalam komunitas masyarakat ngali. Aparat negara seperti polisi yang masuk ke dalam kerangkeng komunitas masyarakat ngali akan diusir dengan cara-cara sadis, yaitu melempari dengan menggunakan batu, atau dikejar dengan parang, sehingga komunitas ini sulit disentuh oleh hukum.
Persoalan yang paling serius dalam konteks ini adalah bukankah ketika masyarakat ngali melakukan sikap perlawanan yang sadis terhadap aparatus negara seperti mengejar mereka dengan parang adalah bentuk dari perlawanan mereka terhadap eksistensi negara raksasa yang bernama Indonesia?. Ataukah perlawanan itu adalah bentuk dari frustasi sosial anak ngali terhadap kebejatan moral elit bangsa yang serakah dan pongah saat ini. Bukahkah secara substanstif ngali telah meneguhkan dirinya sebagai sebuah kekuatan baru dalam negara, yaitu kekuatan politik tersendiri yang dibangun diatas perangkat premanisme?. Dan harus diingat, premanisme merupakan bandit sosial yang juga sama status sosialnya dengan aparat negara yang meringkus uang rakyat dibalik laci mejanya. Mereka adalah sama-sama bandit, yang satu menggunakan kekerasan secara fisik karena merasa jenuh dengan ceramah-ceramah politik, indoktrinasi-indoktrinasi ideologis yang dipaksakan oleh aparatus negara, sementara yang satunya lagi adalah bandit yang berdiri dengan dasi, sepatu yang licin, dan rambut yang disemir dengan kilatan “kiwi”. Adakah perbedaan diantara mereka secara substansial?. Mereka adalah sama-sama bandit sosial.
Jadi secara substantif negara ngali telah terbentuk dengan sendirinya, akan tetapi untuk preferensi formal negara ngali hanya sekedar imajinasi. Formasi yang bisa kita berikan adalah; negara ngali terbentuk dengan berbagai unsur yaitu; (1) elit lokal, yang di dalamnya berkumpul orang-orang yang dianggap sesepuh dan memiliki kharismatika. Jika menggunakan terminologi Weberian, masuknya elit tradisional dalam pengelolaan negara secara modern tidak akan memberikan masa depan yang baik, akan tetapi ngali adalah negara barbarian, sehingga disini dibutuhkan kekuasaan rezim yang otoriter; (2) kekuasaan elit formal. Seharusnya kekuasaan elit yang formal ini dikelola oleh para intelektual, mereka inilah yang melakukan proses perombakan terhadap wajah ngali yang sudah usang akibat premanisme yang begitu menggurita dalam masyarakat. Pembunuhan yang tidak pernah terjamah oleh hukum formal harus segera dilakukan protes peretasan, yaitu mengeluarkan negara ngali dari arus premanisme dan pengkhianatan anak-anak ngali terhadap moralitas yang semakin kumal; (3). Premanisme sebagai kumpulan tersendiri yang didalamya memiliki kekuasaan tanpa batas. Premanisme hampir-hampir menjadi sebuah kekuatan dominatif yang mengalahkan komunitas ideologis yang terbangun secara sistemik. Pembangkangan mereka terhadap warisan tradisi orang tua mereka adalah akibat frustasi yang begitu besar terhadap posisi dan masa depan mereka; (4) kaum intelektual yang merupakan produk formalisme negara. Kaum intelektual ngali banyak yang justru mengalami disorientasi, yaitu tidak mencerdaskan masyarakat ngali yang barbarian, malah justru mereka menjadi bagian dari komunitas barbarian itu. Kenyataan ini bisa kita lihat dari kumpulah sarjana yang tidak kreatif kemudian terlibat dalam dunia immoralitas. Mereka kemudian merebur menjadi preman, yang dalam terminologi umum masyarakt menyebutnya preman ngali; (4) kaum agamawan. Ngali adalah merupakan pusat lahirnya agamawan dan kaum intelektual. Tetapi sekaligus sebagai pusat lahirnya premanisme. Ini sebenarnya sebuah gejala paradoks. Disatu sisi optimisme bahwa ngali adalah pusat lahirnya kaum intelektual dan agamawan harus diakui, tetapi gejala paradoks yang lain juga harus diapresiasi, bahwa ngali adalah pusat premanisme yang paling sadis. Inilah formulasi awal pembacaan penulis terhadap sosok negara ngali yang transenden dan sekaligus angker saat ini.

KAUM INTELEKTUAL NGALI DAN RESISTENSI KEKUASAAN

Intelektual tidak semua orang dapat menyandang gelarnya. Karena intelektual adalah mereka yang berada di atas kebenaran dan memperjuangkan kebenaran tersebut menurut perspektifnya masing-masing. Kalau Gramsci mengatakan bahwa semua orang adalah intelektual, ia lebih melihat pada fungsi yang diperankan oleh kaum intelektual tersebut. Karena tidak semua memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat. Kaum intelektual yang memiliki fungsi di dalam masyarakat inilah yang ingin kita maknai, bahwa mereka bukan hanya sekedar “perpustakaan yang berjalan” dengan berjuta-juta teori. Tetapi mereka juga adalah kaum terdidik yang memiliki kemampuan untuk mengapresiasi kepentingan masyarakat dengan menggunakan kemampauan intelektual.
Kaum intelektual ngali kehilangan arah dalam mendefinsikan diri mereka ketika berhadapan dengan sosok negara ngali yang angker dan penuh pesona mitologis. Intelektual ngali dalam bahasa yang paling tepat kehilangan identitas kengaliannya, sehingga ia kemudian menjadi kerdil ditengah resistensi ideologi dominan premanisme pada satu sisi dan hegemoni kaum tua yang agamawan pada sisi yang lain.
Ketika kaum intelektual ngali kehilangan identitas, mereka seperti sebuah komunitas yang penuh ambigu, karenanya sangat dilematis. Revitalisasi beragama, rekonstruksi sejarah dan reformulasi ideologis merupakan gejala universal kemanusiaan dan karenanya mereka kemudian seperti “hantu intelektual” yang tidak mendapatkan tempat bernaung. Kecuali mereka mau mengikuti arus berpikir ideologi dominan, maka sikap berpolitik yang harus mereka permainkan bukanlah sekedar mengandalkan logika intelektual untuk mendapatkan pengaruh, tetapi mereka harus mampu membaca pengaruh ideologi dominan. Disinilah sesungguhnya permainan hegemoni menjadi terminologi tiran, yang selalu membuat preferensi gigantis dengan mengandalkan turisme intelektual hingga kemudian mereka terasing dari komunitas negara ngali.
Kaum intelektual ngali tidak bisa keluar dari frame utamanya, yakni sebagai kekuatan pemicu untuk melakukan proses perubahan dalam masyarakat, sehingga imajinasi negara ngali secara substantif terelakkan dengan sendirinya. Munculnya rezim politik yang otoriter dalam negara ngali – sangat rentan melahirkan kondisi yang tidak aman bagi masa depan keintelektualan. Kaum intelektual ngali tidak boleh menyingkir dari proses kesejarahan, tetapi kaum intelektual ngali adalah mereka yang memahami realitas sosial ke-ngali-an dan mampu melakukan proses pemberdayaan dalam masyarakat. Kaum intelektual ngali adalah mereka yang senantiasa berusaha untuk merubah paradigma masyarakat ngali, dari paradigma konservatif yang selalu mengandalkan kekuasan dan kekuatan otot, ke paradigma transformatif yang selalu mengandalkan kekuatan kritis sosial dan nalar intelektual sehingga segalanya diselesaikan berdasarkan rasionalitas intelektual.
Kekuasaan premanisme sebagaimana kekhawatiran awal penulis dalah catatan liar ini, akan berbahaya bagi diskursus intelektual masyarakat ngali. Akan tetapi intelektual ngali sesungguhnya adalah sebuah komunitas tersendiri yang di dalamnya mendambakan kekuatan pengaruh, sehingga mereka yang hobi disebut sebagai kaum intelektual akan melakukan apa yang disebut sebagai perlawanan sistemik kaum intelektual terhadap ideologi dominan.

MEMAHAMI STURKTUR LOGIKA DEMOKRASI LOKAL NGALI; SEBUAH PENDEKATAN HOLISTIK

Demokrasi adalah sebuah narasi ideologis dan keniscayaan politis jika didekati dengan kerangka berpikir libertarian. Sebuah pendekatan baru dalam melihat politik ini adalah melakukan upaya serius dalam proses ideologisasi politis dan preferensinya sangat rentan terhadap produk partisipasi glamour masyarakat massa yang diderivasikan menjadi sebuah komoditas konsumeristis. Ketika pendekatan ideologis gagal menciptakan realitas diri diluar eksistensi lokalitasnya, ngali kemudian menjadi lebih kombinatif dalam upaya perekayasaan sosial. Maka demokrasi menjadi penting untuk melakukan proses pembongkaran terhadap realitas sosial ke-ngali-an yang absurd dan tiran. Bongkahan cara berfikir feodal masyarakat ngali yang rapuh hanya bisa dilakukan jika demokrasi menjadi eksistensial untuk membedah struktur kekuasaan lokal masyarakat ngali.
Ngali secara holistik harus dikeluarkan dari proses transisi moral yang penuh merayu dan romantis, tetapi sangat berbahaya bagi bangunan demokrasi. Maka, transisi di-ngali bukan hanya sekedar transisi moral akan tetapi secara struktur adalah transisi rezim tradisional menuju ke watak yang demokratis. Bahkan kalau kita meminjam “penyihir intelektual Barat” Francois Fukuyama dalam The End of History And The Last Man (1992) bahwa demokrasi emnjadi virus ideologi politik global yang niscayanya akan diterapkan oleh semua negara di dunia. Ketika demokrasi liberal menang atas seluruh ideologi politik yang ada, maka berakhirlah sejarah peradaban. Sebuah optimisme yang menjadi bahan kajian menarik dalam ilmu politik kontemporer atas gagasan Fukuyama tersebut.
Menurut Giuseppe Di Palma (1997; 144) sebagai proses, konsolidasi sama dengan fase transisi, karena tidak pasti dan kurang dapat diprediksi arahnya. Fase konsolidasi terkait erat dengan pencapaian kesepakatan sebelum institusi dan praktek yang ditopang oleh kesepakatan itu dijalankan. Palma (1997; 142) mengatakan bahwa konsolidasi demokrasi dapat dicapai bila institusi demokrasi yang sah dan kultur politik yang demokratis telah terbentuk. Proses ini hamper selalu dilakukan, namun sangat menentukan sukses atau gagalnya konsolidasi demokrasi.
Juan Linz dan Alfred Stephan (1996; 3) menggambarkan demokrasi terkonsolidasi sebagai situasi politik dimana demokrasi menjadi “the only game in town”. Menurutnya ada tiga kondisi yang harus terpenuhi untuk mencapai status ini. Pertama, dari aspek perilaku, hanya sedikit kelompok politik yang serius berniat menjatuhkan rezim demokrasi atau memisahkan diri dari Negara. Kedua, dari aspek sikap, mayoritas rakyat mempercayai prosedur dan institusi demokratis sebagai cara paling handal mengatur kehidupan bermasyarakat. Ketiga, aspek konstitusional, semua actor politik terbiasa untuk memecahkan konflik dengan mengacu pada resolusi hokum, prosedur dan institusi pemaksa pada proses demokrasi yang baru.
Demokrasi di ngali akan tercapai jikalau ternyata kekuasaan lokal mampu melakukan telaah kritis atas wacana dominan yang masuk ke ngali. Untuk melakukan itu semua, maka keterlibatan kaum intelektual ngali sudah menjadi sebuah kewajiban yang mesti diemban secara bertanggungjawab oleh mereka yang selalu menyebut dirinya sebagai kaum intelektual.
Ngali memiliki ciri khas demokrasi tersendiri yang kita sebut sebagai demokrasi komunitarian. Demokrasi komunitarian ini ditandai oleh proses reformulasi politik yang di dalamnya penuh pesona ideologi, tontonan gila dan pesta glamour kultur masyarakat. Dalam demokrasi komunitarian, yang diikuti adalah kemauan dari masyarakat sebagai basis massa kultur yang memiliki masa depan politik yang jelas. Partisipasi dalam logika demokrasi komunitarian bukan seperti apa yang menjadi mainstream demokrasi liberal, akan tetapi ia mengikuti cara-cara yang ada dalam masyarakat. Sehingga politik yang dikembangkan adalah politik afirmasi, yaitu mengambil realitas sosial sebagai basis legitimasi kebijakan sehingga kebijakan politik tidak kehilangan arah.
Yang ingin saya katakan dalam tulisan ini dan yang saya sebut sebagai demokrasi lokal ngali itu adalah “demokrasi komunitarian” itu, karena inilah model demokrasi yang mengikuti karakter basis komunitas sosial dimana kekuasaan politik berpijak. Maka atas nama anak ngali yang ingin melakukan pembangkangan terhadap tradisi premanisme, kekuasaan rezim post kolonial yang gerontokratis, pengkhianatan kaum intelektual ngali yang melebur ke dalam arus budaya massa, saya secara inheren ingin melakukan manifesto perlawanan terhadap seluruh pengingkaran basis komunitas ngali dari demokrasi komunitarian beserta segala preferensinya, utamanya hancurnya moralitas, identitas dan terbunuhnya rasa kemanusiaan ngali diatas ujung belati realitas sosial yang pragmatis dijagat halusinasi ini.

Demikian tulisan ini, kepada yang merasa benci silakan muntahkan segala kebencian anda, karena kebencian anda itu adalah bentuk kecintaan anda terhadap saya. Saya adalah anak kandung rezim kolonial, maka saya selalu melakukan manifesto terhadap bentuk “bau pantat kolonialisme”. Wallahu a’lam bishowab.

Mataram 18 oktober 2006