Selasa, 31 Juli 2007

KAUM INTELEKTUAL MELACURKAN DIRI DALAM ARUS KEKUASAAN

Kaum intelektual berdiri pada dua posisi yang sangat dilematis. Pertama, menjaga tembok moralitas kemanusiaan seraya membebaskan diri dari belenggu-belenggu kekuasaan yang hegemonik dan yang dibangun di atas tipuan-tipuan, atau; Kedua, adalah mematuhi kehendak kekuasaan Negara yang resmi, yang dianggap melanggar nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan yang diperjuangkan, sehingga kesucian perjuangan kemanusiaan dan pembebasan menjadi tidak berfungsi lagi.

Adalah Moh. Hatta yang pertama kali memberikan istilah baru bagi kaum intelektual untuk konteks Indonesia, dengan sebutan kaum “intelegensia” dalam arena percaturan pemikiran komunitas akademis, ketika ia berpidato pada tahun 1957 di Universitas Indonesia. Sambil mengutip Julien Benda tentang La trahison des clers, “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”, Moh Hatta seakan-akan memperingatkan akan munculnya generasi baru Indonesia yang tidak lagi mengenal nilai-nilai kemanusiaan, tidak bisa membedakan antara identitas keintelektualan dan kepentingan pragmatisme kekuasaan yang terlampau materialistik dan pongah. Pesan yang ingin disampaikan oleh Hatta adalah bahwa masa depan Indonesia yang demikian “gigantis” dan penuh “pesona” akan dihadang oleh arus kekuasaan yang dilanda oleh “amukan” modernitas tanpa kendali, sehingga miskin nurani, dan celakanya mengkoyak-koyak identitas kemanusiaan seseorang atau masyarakat.

Dalam perbincangan akademis telah dibedakan antara lapisan “intelegensia” dengan kelompok intelektual. “Intelegensia” adalah istilah yang berasal dari Rusia, yang bisa diterjemahkan dengan istilah “kaum terpelajar” dalam lapisan sosial masyarakat. Karenanya, bagi Negara-negara pasca kolonial seperti Indonesia, mereka yang dapat disebut sebagai “intelegensia” adalah yang pernah mengenyam pendidikan Barat, atau paling tidak mengalami persentuhan akademis dengan dunia Barat. Mereka yang mengalami masa “romantisme” dan bersentuhan dengan Barat ini kemudian menjadi bagian dari kaum “intelegensia” yang mengkritik keberadaan kekuasaan yang menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi bagi masyarakat dinegara-negara mereka yang baru saja keluar dari himpitan politik. Disini pula ditemukan perbedaan antara kaum intelektual dan kelompok “intelegensia”. Untuk itu, Boborykin (1960an) mengatakan “kaum intelegensia” adalah suatu strata sosial yang terdiri dari orang-orang yang secara professional terlibat dalam pekerjaan mental, terutama dalam bentuknya yang kompleks dan kreatif, dalam perkembangan dan penyebaran budaya. Jika kita tarik dalam kerangka personalitas, maka orang-orang seperti Mansyur Semma, Syafi’i Maarif, Nurcholis Madjid (alm), untuk menyebut beberapa nama, adalah merupakan figur “integelensia” yang selalu melakukan otokritik terhadap pergeseran mentalitas dalam arus tradisi masyarakat akibat modernisasi lokalitas kebangsaan yang begitu kencan terjadi. Akan tetapi Edwar Shill mengembangkan pengertian yang baru “intelegensia” sebagai kelompok sosial yang memiliki tingkat akademis yang tinggi, jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sehingga gelar, simbol dan “jubah kebesaran” yang bernama professor, doktor, magister dan honoris causa (untuk menyebut kaum intelektual karbitan) dan sebagainya adalah merupakan simbol “intelegensia” dan secara filosofis dan sosiologis memiliki tanggung jawab kemanusiaan dan kesejarahan yang begitu besar dihadapan masyarakat. Disinilah yang membedakan antara kaum intelektual dan “intelegensia”. Kaum intelektual bukan hanya mereka yang pernah terlibat dalam lingkaran akademik Barat dan disebut sebagai kaum terpelajar dalam terminologi akademis, akan tetapi kaum intelektual adalah mereka yang memiliki rasa kemanusiaan, dan melibatkan diri dalam proses-proses sosial dalam upaya memecahkan masalah kemasyarakatan. Karena itu, mereka yang disebut sebagai kaum intelektual itu sebenarnya adalah mereka yang kritis terhadap segala bentuk pengingkaran atas nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi tengah-tengah “deru” pembangunanisme yang mengkhianati kepentingan masyarakat. Karenanya mereka bukanlah pelaku kekuasaan atau masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, akan tetapi mereka seringkali berada di luar lingkaran kekuasaan seraya mengontrol perilaku kekuasaan tersebut.

KISS; Kaum Intelektual Sedang Melacurkan Diri.

Deklarasi KISS (Kaukus Intelektual Sulawesi Selatan) pada Selasa 17 Juli 2005 di hotel Clarion adalah merupakan bentuk pelembagaan kaum intelektual, seperti yang terjadi di tahun 1990 ketika para intelektual muslim indonesia mendirikan ICMI. Sadar atau tanpa sadar, berdirinya ICMI adalah untuk membantu mengakomodasi kaum intelektual muslim agar bisa masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru.

Melihat pernyataan dan sekaligus elaborasi visi KISS, penulis tersentak dan merasa terhenyak, bahwa organisasi ini didirikan untuk melibatkan diri secara langsung dalam Pilkada. Penulis tidak ingin mengatakan, bahwa mereka masuk ke dalam kekuasaan itu adalah bentuk pengkhianatan sebagaimana yang di katakan oleh Julien Benda, akan tetapi juga keterlibatan mereka adalah bentuk artikulasi, bahwa kaum intelektual itu sangat ”haus” akan kekuasaan.

Bagi mereka yang memiliki tendensi kekuasaan yang terlampau besar, meleburkan diri dalam diskurus politik adalah hal yang wajar, akan tetapi ketika kaum intelektual masuk ke dalam lingkaran politik lalu memiliki keberpihakan adalah merupakan persoalan yang harus diperbincangkan. Tujuh poin sikap KISS menandakan bahwa organisasi ini di bangun untuk mendukung calon tertentu dan membusukan calon tertentu, yang sudah pasti melanggar etika kaum intelektual. Khusus poin dua dan point lima dari sikap KISS adalah merupakan bentuk ”pelacuran” kaum intelektual yang dilakukan oleh KISS. Point 2 adalah ”menyerukan kepada seluruh warga sul-sel untuk memberikan hukuman (tidak memilih lagi) untuk ”penguasa puncak” politik yang gagal melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya. Sebaliknya, memberikan penghargaan (memilih) penguasa politik yang berhasil melaksanakan amanah yang dibebankan kepadanya sesuai fungsi dan jabatan yang di bebankan kepadanya”. Poin 5 ”menyerukan kepada kaum intelektual sul-sel untuk melakukan ”pemihakan” terhadap figur yang memiliki kemampuan (visi, misi, program, kapasitas, kapabilitas dan integritas) dalam melakukan percepatan perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Sikap KISS bagi kita adalah hal yang wajar dalam berpolitik. Akan tetapi nalar politik kaum intelektual yang terlibat menyusun sikap itu determinan tendensius dari pada menggunakan rasionalitas intelektual, sehingga aroma ”pembiaran” kepentingan politik menjadi tak terhindarkan. Sulit untuk di bayangkan, bahwa tesis Hatta puluhan tahun yang silam, sebagaimana yang penulis katakan di atas menjadi kenyataan. Salah satunya adalah model sikap politik yang dilakukan oleh KISS ini.

Mereka menurut penulis adalah kaum intelektual yang kehilangan ruang untuk mengespresikan diri, lalu mencari ruang baru yang lebih sensasional untuk mengespresikan dirinya. Di tambah dengan moral yang rapuh, pikiran yang pragmatis, ”lapar” akan kekuasaan, mereka bertemu dalam satu ruang yaitu mendirikan KISS supaya lebih sensasional dan sedikit bisa lebih terkenal. Pada akhirnya, kita akan menemukan kaum intelektual yang kebetulan kehilangan ruang itu nantinya akan mendukung calon-calon tertentu, entah secara terang-terangan atau secara terselubung, yang merupakan sikap yang tidak lazim secara intelektual. Lalu apakah mereka kaum intelektual?. Mereka bukanlah kaum intelektual, akan tetapi mereka adalah kaum intelegensia yang secara kebetulan menghuni kampus-kampus yang merupakan simbol kaum intelektual.