Kamis, 02 Agustus 2007

PILKADA DAN ANCAMAN DEMOKRASI KOMUNITARIAN

Pergolakan politik lokal adalah fenomena baru bagi dunia politik Indonesia setelah lahirnya Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Secara filosofis, UU ini telah memberikan ruang demokrasi yang menganga lebar bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik yang berkembang, sehingga demokrasi perwakilan yang menjadi trend politik selama ini mengalami pereduksian makna, baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis.
Ruang demokrasi yang begitu luas ini merupakan sebuah gagasan yang sangat apresiatif jika dipandang dari segi filosofis, akan tetapi pandangan ini tidak bisa menjadi jaminan bahwa demokrasi bisa diterima di semua kalangan.
Secara sosiologis, kehadiran UU No 32/2004 telah membawa ancaman yang begitu serius bagi kongklusi masalah politik lokal, bahkan semakin rumit. Demokrasi lokal kemudian menjadi "buronan" bagi elite yang masih serakah terhadap kekuasaan, karena secara faktual masyarakat menjadi korban keganasan, retorika, dan permainan politik elite yang penuh dusta dan provokatif.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung harus diakui merupakan ijtihad politik yang sangat berani yang dilakukan elite politik bangsa ini. Mereka mampu menembus batas-batas kebudayaan, melabrak sistem, dan mengubur realitas sosial masyarakat yang masih pagan, irasional, dan penuh mitos politik dan sekaligus yang dibangun di atas multikulturalisme.
Hasil dari cerita sukses elite politik mengancam eksistensi bangunan komunialisme masyarakat yang selama ini dibangun di atas uniformitas, sekalipun uniformitas ini bukanlah jalan terbaik bagi proses demokratisasi masyarakat yang plural.
Tetapi uniformitas justru akan efektif jika elite politik mampu memaknai realitas sosial sebagai pijakan politik dalam upaya menciptakan demokrasi yang partisipatif.

Fenomena Baru
Pilkada langsung, sebagai sebuah formula baru dalam sistem politik keindonesiaan, merupakan gejala dendam politik yang ditumpahkan secara dramatis oleh kekuatan politik yang kecewa terhadap rezim politik patrimonialisme sebelumnya. Realitas ini yang menyebabkan "demam" politik melanda sebagian besar elite politik kita saat ini.
Setelah mengantongi cerita sukses melalui pendekatan positivistik di atas gigantisme rezim politik lokal, pilkada secara langsung kemudian menjadi ajang perebutan, perselingkuhan, kolaborasi, permainan, bahkan kegilaan elite politik lokal yang menjadi tontonan serius yang patut untuk tidak dipelajari oleh generasi politik.
Selain sangat machiavellistik, pikiran-pikiran "liar" aktor politik lokal yang penuh ambisi kekuasaan menjadi realitas sosial yang tak terhindarkan dan celakanya sangat menyesatkan.
Pilkada langsung Bupati Kutai Kartanegara yang merupakan percontohan pertama pilkada langsung di Indonesia, yang kemudian di susul oleh daerah-daerah lain di Indonesia sepanjang tahun 2005 adalah pertanda bahwa partisipasi demokrasi di tingkat lokal telah memiliki ruang yang terbuka.
Inilah praktik demokrasi liberal pertama di Indonesia sesungguhnya, dan kemungkinan tesis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992) yang begitu optimis dengan gelombang liberalisme yang diakhiri dengan kemenangan Barat menjadi tontonan di masyarakat Indonesia belakangan ini. Sehingga perdebatan antara Herbert Feith dengan Harry J Benda yang mempersoalkan kegagalan parktik demokrasi liberal di Indonesia pasca kolonial sudah tidak layak lagi diajukkan ke publik.

Ancaman Demokrasi
Akibat dari praktik liberalisme dengan gelombang yang begitu dahsyat ini, bukan berarti membawa berkah bagi dunia politik Indonesia, akan tetapi justru yang terjadi adalah resistensi masyarakat terhadap praktik liberalisme ini, karena di satu sisi mengancam lokalitas kebersamaan mereka, dan pada sisi yang lain, elite politik memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan kondisi resistenstif, sehingga lahirlah massa melawan massa, dan massa melawan negara.
Pilkada Banten yang berbuntut konflik panjang adalah akibat ketidakjujuran elite politik lokal yang memanfaatkan komunitas lokal untuk mengacaukan situasi politik, sehingga mengancam bangunan lokalitas masyarakat.
Inilah yang ingin saya sebut dengan ancaman bagi demokrasi komunitarian. Bahkan hampir seluruh daerah yang nelaksanakan pilkada langsung di Indonesia mengalami chaos politik yang sama, karena masing-masing elite lokal memanfaatkan massa untuk membuat situasi kekacauan.

Komunitarianisme Sulsel
Setelah dua tahun penulis bergabung di Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Jakarta sebagai peneliti, survei terakhir mengenai respons masyarakat sulsel terhadap pilkada langsung di daerah ini sekitar tiga bulan yang lalu, seharusnya membuat kita, khususnya elite politik kecewa.
Hampir semua responden di beberapa daerah tidak mengenal calon gubernur, bahkan ada sebagian yang tidak mengenal gubernur yang berkuasa sekarang, sehingga pilihan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukkan masih tidak bisa dijadikan alasan rasionalitas kemenangan mereka.
Belum lagi kami menemukan sudah beredar brosur salah satu calon gubernur di masyarakat, bahkan di Maros sudah berdiri pos pemenangan salah satu calon yang juga belum tentu menjadi calon.
Kenyataan ini merupakan bentuk ambisi kekuasaan yang akan membawa ancaman bagi kebersamaan masyarakat di tingkat lokal, karena saling tuding antara pendukung yang satu dengan pendukung yang lain sulit untuk dihindarkan. Hanya gara-gara ambisi kekuasaan, dan celakanya masyarakat seringkali dimanfaatkan untuk melakukan gerakan anarkis demi ambisi mereka.
Kasus bongkar pasang baliho yang bergambar wakil gubernur di Bulukumba pada bulan Ramadan lalu, juga dapat menimbulkan situasi politik yang tidak sehat di masyarakat, karena bagaimanapun, pendukung irasional akan merasa terpancing dengan realitas yang ada, apalagi yang menjadi aktor pemainnya adalah pemimpin politik yang mereka anggap sakral.
Pada akhirnya, kita menyaksikan baliho, komunitas, basis budaya, klan, dan kekeluargaan yang sudah berubah menjadi tim kampanye dan tim sukses yang memiliki spanduk masing-masing. Juga brosur yang ditempel di berbagai mobil, pagar-pagar rumah, pinggir jalan, layaknya kampanye sudah dibuka, padahal kampanye belum dimulai.
Cerita-cerita di atas sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia politik kita, yang kemudian membawa ancaman bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat. Tetapi kita tidak bisa membiarkan bangunan lokalitas masyarakat terkoyak akibat keserakahan, ambisi, dan pengkhianatan atas nama kekuasaan.
Untuk menyelamatkan bangunan demokrasi komunitarian dari ambisi kekuasaan yang terlampau pragmatis ini, maka diperlukan keterlibatan berbagai pihak untuk menjaga tembok kebersamaan masyarakat, seperti KPU, dan partai politik.

Menunggu �Berkah� Konvensi Golkar

FENOMENA konvensi adalah merupakan gejala politik yang patut di apresiasi di dalam lingkaran partai yang pernah mengalami status quo yang panjang seperti Golkar. Setelah di konversi dari Golkar menjadi partai Golkar, praktis partai beringin ini berubah secara drastis, sekalipun hujatan, hinaan, dan cacian dari kelompok-kelompok yang tidak suka dan benci terhadap tingkah laku politik yang dilakukannya selama Orde Baru datang bertubi-tubi. Tetapi Akbar Tanjung, dengan lincah dan optimis membangun partainya, padahal kutukan, baik dari eksternal partai maupun internal partai datang silih berganti. Salah satu yang seringkali membuat panas kuping para kader Golkar pasca Orde Baru adalah Hajriyanto Y. Thohari, yang memang tidak segan-segan mengkritik partainya.

Janji Golkar baru yang di konsolidasikan Akbar ternyata memang bukan isapan jempol semata, karena ternyata partai ini memang benar-benar berubah, baik menyangkut ideologi politiknya maupun paradigma yang di elaborasinya. Sekalipun masih banyak fungsionaris partai yang berpikiran status quo, tetapi perubahan yang sangat cepat di dalam tubuh Golkar adalah sesuatu hal yang tak terduga sebelumnya.
Seiring dengan perubahan politik yang terjadi, Golkar memang sudah berubah. Baru pertama kali, setelah tiga dasawarsa lebih mengalami kooptasi dan ikut arus kekuasaan, hingga menjadi kendaraan politik sang aktor, Golkar mulai menciptakan logika demokrasi di Internal partainya. Interpretasi demokrasi yang demikian cepat, melebihi partai-partai reformasi yang sesungguhnya, membuat Golkar memang berbeda dengan partai yang lain.

Konvensi adalah praktek demokrasi internal yang dijalankan oleh Golkar untuk menentukkan secara demokratis siapa yang akan di usung untuk menjadi calon penguasa yang akan di dukung oleh Golkar dari sekian banyak kader potensialnya. Dengan konvensi, setiap kader terbaiknya dapat bersaing secara sehat untuk memperoleh dukungan dari internal kadernya sendiri. Sehingga stigma, bahwa ketua partai dapat menentukkan segala-galanya adalah tidak benar, dan Golkar mampu membuktikan hal itu. Konvensi calon Presiden tiga tahun yang lalu adalah fakta, bahwa ketua Golkar tidak mampu berbuat apa-apa di hadapan kadernya. Kekalahan Akbar Tanjung dalam konvensi, dan kemenangan Wiranto adalah fenomena yang patut untuk diapresiasi, bahwa perubahan di dalam partai Golkar benar-benar terjadi.
Sekalipun fenomena Akbar sangat kasuistis, tetapi bagi kita bisa menjadi rujukan, bahwa posisi ketua umum bisa sangat rentan, jika tidak di dukung oleh kadernya di daerah. Inilah fenomena yang kita saksikan dalam partai Golkar secara keseluruhan.

� Menunggu konvensi Golkar

Dengan melihat perubahan-perubahan dalam diri Golkar setelah di konversi, praktek konvensi ternyata menjadi gejala demokrasi khas di Golkar. Sehingga Golkar harus merealisasikan dirinya sebagai partai yang berkuasa, bukan partainya penguasa sebagaimana masa lalu. Masa lalu adalah sejarah kelam yang harus menjadi pelajaran bagi Golkar, dan masa kini adalah objek politik Golkar, serta masa depan harus direbut sebagai bentuk pertanggungjawaban moral Golkar terhadap bangsa ini dengan tetap berkomitmen untuk mereposisi moralitas apparatus partai yang masih banyak melanggar tradisi kultur bangsa kita.

Gejala konvensi inilah yang sebentar lagi akan menjadi tontotan politik bagi masyarakat Sulsel dalam rangka menjaring kader Golkar yang potensial untuk di dorong menjadi calon Gubenur Sulsel. Sekalipun beredar rumor bahwa konvensi hanyalah merupakan rutinitas untuk tidak mengatakan bahwa Golkar sudah tidak demokratis, tetapi melalui konvensi ini, Golkar diharapkan mampu bertindak lebih apresiatif, demokratis dan artikulatif atas demokratisasi.

Indikasi untuk meloloskan salah satu calon dalam konvensi Golkar tanggal 26 Maret ini menganga lebar, bahkan calon yang ikut konvensi, jika tidak lolos dalam konvensi, maka dia harus menjadi tim sukses bagi calon yang lolos. Maka pupuslah harapan Syahrul yang sudah dicalonkan koalisi PAN-PDK untuk terlibat dalam konvensi Golkar, sekalipun belum ada keputusan untuk mengundurkan diri dari konvensi, bahkan ada pernyataan bahwa Syahrul akan tetap mendorong laju pertumbuhan demokrasi di Golkar. Tetapi pernyataan ini hanyalah untuk memperlihatkan bahwa Syahrul hanya sekadar memanas-manasi situasi sebagai strategi politik menjelang konvensi.

Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam konvensi Golkar tanggal 26 Maret nanti. Pertama; Amin Syam sudah pasti maju dalam bursa konvensi. Dan kemungkinan suara akan mayoritas ke Amin Syam dalam konteks ini; kedua, Syahrul kemungkinan besar tidak akan maju, karena posisinya akan terancam di konvensi. Jika Syahrul melawan Amin Syam, maka sama saja melicinkan jalan bagi Amin Syam, karena posisinya sebagai ketua Golkar sangat memungkinkan dia untuk memenangkan konvensi ini. ketiga; tetapi akan lain ceritanya kalau Mansyur Ramli maju untuk mendorong demokratisasi di Golkar. Jika Mansyur Ramli maju dalam bursa konvensi, maka akan menjadi ancaman bagi Syahrul dan Amin. Terlebih Amin akan berada pada posisi yang sangat rentan jika Mansyur Ramli maju dalam konvensi. Penulis bisa memberikan prediksi yang kemungkinan bisa saja terbantahkan, jika Amin Syam maju berdua dengan Mansyur Ramli atau bertiga dengan Agus Arifin Nu�mang, bahkan berempat dengan Syahrul, kemungkinan peluang Mansyur Ramli sangat besar dengan pertimbangan; (1) Mansyur Ramli kemungkinan akan di dukung oleh Jusuf Kalla sebagai ketua umum partai Golkar. Karena antara Jusuf Kalla dan Mansyur Ramli adalah satu rumpun keluarga dekat. Harus dipahami bahwa suara DPP dalam konvensi ini adalah 40 persen. (2) Jika suara DPP Golkar adalah 40 persen mendukung Mansyur Ramli, maka Mansyur Ramli tinggal mencari dukungan dari DPD I atau DPD II 20 persen, maka dengan sangat mudah ia akan memenangkan konvensi ini; (3) jika Jusuf Kalla terlibat secara serius mendukung Mansyur Ramli sebagai ipar-nya, maka Aksa Mahmud juga sebagai ipar Mansyur Ramli tidak mungkin tinggal diam, sehingga ruang kemenangan bagi Mansyur Ramli sangat besar, dan ini adalah ancaman serius bagi posisi Amin Syam dalam konvensi Golkar.

Anggapan bahwa ketua partai akan dominan menentukan banyak persoalan akan terbantahkan dengan sendirinya, bahkan sudah terbantahkan dalam Golkar. Ketika ketuam umum DPP Golkar Akbar Tanjung dikalahkan oleh Wiranto dalam konvensi untuk menyeleksi calon presiden tiga tahun yang lalu. Ini adalah kondisi laten yang mendekati kemungkinan dan bisa terjadi dalam konvensi nanti. Jika memang demikian yang terjadi, maka Amin Syam akan dihancurkan oleh aturan yang telah dibuatnya, dan seluruh rencana politik partai-partai lain akan mengalami perubahan.

* Partai lain menanti Golkar

Hingga hari ini belum ada ketegasan yang jelas dari partai-partai lain kecuali PAN-PDK yang mengusung Syahrul. Koalisi keumatan, partai Demokrat dan PDI-P, belum memiliki sikap yang bisa menjadi pegangan politik, karena masih dibayang-bayangi oleh apa yang akan terjadi dalam konvensi partai Golkar.

PAN-PDK meminang Azis untuk menjadi wakil Syahrul, tetapi Azis belum berani memutuskan akan kemana dia sebenarnya. Sementara koalisi keumatan menginginkan dia menjadi calon gubernur, bukan wakil, tetapi seberapa besar kans politik yang dimiliki oleh Azis masih harus dipertanyakan. Masyarakat akar rumput hanya mengenal Syahul dan Amin Syam saat ini ditingkat bawah, sementara Azis adalah pelengkap bagi kedua calon tersebut. Enam bulan yang lalu, ditingkat bawah Azis masih bisa menjadi kuda hitam bagi Syahrul dan Amien Syam, tetapi empat bulan kemudian, dinamika politik berubah, Azis justru dikubur oleh Amin dan Syahrul. Koalisi keumatan bisa mengusung Azis sebagai calon Gubernur dengan syarat utama, bahwa seluruh basis kultural Islam harus digerakkan secara massif dan harus mulai sekarang. Jika tidak, Azis akan menjadi korban ambisi partai. Karena hanya basis kultural yang bisa di gerakkan sekarang tanpa pragmatisme.

Untuk bagian akhir tulisan ini sebagian adalah hasil analisis dari perjalanan keliling Sulsel dan hasil wawancara dengan masyarakat arus bawah selama delapan bulan terakhir. Ternyata dinamika politik di bawah itu lebih kencang dari apa yang kita prediiksikan selama ini.***<
/span>

Pengkhianatan Kaum Intelektual di Unhas


Fajar Pagi 27 Jun 2006,

Tulisan ini, sebenarnya tidak ingin memprovokasi siapapun, dan tidak memiliki tendensi apa-apa. Saya teringat dengan tulisan Daniel Bell "The End of Ideology", yang terlalu dini membunuh ideologi atau Francis Fukuyama yang menulis "The End of History", atau Ohmae dengan "The End of Nation State" dan "The Borderless World". Karya Fukuyama ?The End Of History? adalah karya monumental yang sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan baik di kalangan ilmuwan Timur maupun Barat. Juga pakar-pakar lain yang menulis "matinya ilmu ekonomi dan "matinya ilmu pengetahuan". Semua barangkali merupakan refleksi kritis dan gugatan radikal terhadap fenomena yang dihadapi, yang dalam banyak hal menimbulkan kekecewaan dan frustrasi. Karya-karya yang disebutkan di atas paling tidak mewakili alur berpikir tulisan ini, yaitu bagaimana seorang intelektual mampu ?menyihir? orang dengan argumentasi, gagasan dan paradigma yang objektif. Seorang intelektual adalah yang memahami realitas sosial sebagai pusat bergetarnya ?naluri? kemanusiaan dan realitas sosial yang timpang adalah musuh dan objek kajian kaum intelektual dengan berusaha mencari pemecahan terhadap realitas yang timpang tersebut.

Kaum intelektual merupakan kaum terdidik, pandai, bernaluri, benci terhadap penindasan ?penindasan itu atas nama apapun ? dan berusaha untuk mengeluarkan masyarakat dari jeratan sosial yang menghimpit.
Seorang intelektual harus memahami idealisme dan pandangan dunia yang dimilikinya sehingga kaum intelektual tidak menjadikan intelektual sebagai alat untuk meraup keuntungan pribadi dengan menjual gelar keintelektualan. Jika itu yang terjadi, maka gelar pengkhianat intelektual harus disandangnya.

Setiap naluri berpikir seorang intelektual seyogyanya berkhidmat kepada masyarakat dan kemanusiaan, serta mencari hakikat kebenaran untuk pembebasan, sehingga dengan demikian seorang intelektual tidak berhenti menjadi intelektual personal ? meminjam bahasa Antonio Gramsci di sebut sebagai intelektual tradisional ? yaitu seorang intelelektual yang meninggalkan fakta sosial sebagai ?kitab sosial? yang merupakan pisau analisis untuk menjawab persoalan masyarakat. Kalau kita meminjam Julien Benda, intelektual yang menyimpang dari kualifikasi tersebut adalah pengkhianat (traitor). Kendati dalam beberapa hal pandangan Benda masih dapat diperdebatkan (debatable) namun esensi argumentasinya adalah betapa pentingnya kaum intelektual memegang teguh idealisme kemanusiaan dan etika otoritas keilmuannya. Dalam bahasa Edward Schills (1972), ?Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari kebenaran.?

* Kaum intelektual Unhas.

Unhas tidak diragukan lagi, merupakan tempat para intelektual. Sekalipun variannya berbeda, untuk sementara ? dan Insya Allah untuk selamanya ? kita bisa mengatakan bahwa Unhas adalah ?sarang? para intelektual yang menggunakan ?jubah? gelar, mulai dari Profesor, Doktor, dan ?segerombolan? yang bergelar magister, semuanya ada di Unhas. Gelar atau embel-embel apapun tidaklah terlalu penting sebenarnya dalam memahami seorang intelektual. Karena seorang intelelektual adalah human transformers, yaitu mereka yang resah menyaksikan penindasan, pengkhianatan dan perampokan sosial dalam masyarakat.

Memahami intelektual sebagai kelompok oposisi terhadap pengkhianatan, penindasan dan perampokan sosial ini menjadi penting untuk kita cermati lebih mendalam, karena proses intelektual akan gagal jika fakta sosial tidak searah dengan cara pandang universal intelektual. Fakta sosial di Unhas bukan hanya memalukan, tetapi juga menjijikkan. Konflik pemilihan dekan fakultas hukum beberapa bulan yang lalu yang berujung pada pembentukan karateker karena masing-masing mempertahankan arogansi intelektualnya adalah fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, bahwa intelektual digiring ketiang gantungan sejarah oleh mereka yang selalu membusungkan dada sebagai seorang intelektual hanya demi keserakahan kekuasaan. Tawuran, perkelahian dan sadisme yang muncul di kampus ini mempertegas kembali bahwa Unhas merupakan tempat gerombolan intelektual yang tak pernah memahami realitas sosial sebagai sebuah alat rekayasa perubahan. Juga kasus doktor instan yang pernah memenuhi media massa tahun lalu, dan menjadi bahan polemik hingga tidak diketahui dimana ujung penyelesaiannya, juga adalah kenyataan semakin kaburnya makna intelektual yang melekat dalam sanubari mereka yang selalu berteriak tentang intelektual. Kasus Ospek yang seringkali menimbulkan korban jiwa, penindasan massal, perampokan sosial, bandit intelektual, dan bisnis mahasiswa yang telah berubah menjadi dosa warisan merupakan bentuk keserakahan yang tak pernah berakhir. Sekarang media massa sedang gencarnya memberitakan kasus korupsi yang melibatkan mantan dekan di salah satu fakultas yang menegakkan moral bangsa ini, fakultas yang mendidik orang supaya tidak meringkus harta orang lain, fakultas yang selalu meneriakkan demokrasi. Mantan dekan ini di tangkap dan kasusnya sedang disidangkan ? semoga beliau tidak melakukan bentuk pengkhianatan intelektual.

Tetapi selain di atas, apakah selamanya kita tidak berani jujur, bahwa universitas terbesar kawasan timur ini sedang dihinggapi oleh bentuk primordialisme intelektual, bahkan ada yang mensinyalir bahwa di Unhas banyak terbentuk simpul-simpul dinasti intelektual. Satu bentuk pelanggaran terhadap hakikat intelektual yang sesungguhnya.

Di tengah problem seperti itu, akhirnya banyak potensi para Profesor dan Doktor serta ?gerombolan magister? yang tidak lagi produktif. Kalau Fukuyama, Daniel Bell, Semuel P. Huntington, Descrates, Vico, Spinoza, Renan, Hegel, Goethe, Nietzsche, dan banyak yang lain dalam sejarah modern Eropa mampu ?menyihir? dunia dengan teori-teori mereka, maka para guru besar kita banyak yang asyik mashuk dengan persoalan kekuasaan. Intelektual Unhas masih serakah dengan kekuasaan. Padahal keserakahan itu adalah bencana yang dapat membutakan mata hati, yang tidak mampu menggetarkan jantung dan membunuh nurani untuk tidak mampu memahami tugas dan tanggung jawab yang sesungguhnya.

Seorang intelektual itu kalau kita meminjam Benda, bukanlah manusia biasa. Tetapi intelektual adalah orang atau sekelompok orang yang mampu memahami, merenungi, dan bertindak dengan karakter intelektual dalam memahami fakta sosial. Intelektual harus mampu melahirkan karya-karya besar dengan pikiran-pikiran briliant. Selalu melakukan ?teror? wacana, kepada publik dan melakukan transformasi kepada orang lain. Sehingga ia tidak menjadi intelektual personal, yang hanya mengonsumsi sendiri kecerdasan yang dimilikinya. Dalam konteks inilah Unhas telah gagal menjadi pusat lahirnya para intelektual. Banyak guru besar Unhas yang tidak punya karya tulis, bahkan dimuat di koran lokal seperti Fajar, apalagi mau dimuat di koran nasional seperti kompas. Kecuali hanya sedikit dari ?sekumpulan? intelektual yang berada di bawah naungan perguruan tinggi ini yang produktif. Sebutlah misalnya Mansur Semma, Adi Suryadi Culla, Ahmad Ali, Dwi A. Tina, dan beberapa nama yang lain. Unhas memang harus jujur, tidak mau menghargai orang-orang cerdas, berapa banyak orang cerdas yang tersingkirkan dari Unhas hanya karena tidak memiliki keluarga di dalamnya atau tidak menjilat pantat dosen yang telah senior.

Padahal seorang intelektual itu menurut Edward Said dalam Reith Lectures nya di BBC tahun 1993, adalah individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapatnya kepada publik?. Ia tidak harus dan tidak boleh menjilat kepada siapapun, karena itu adalah bentuk penghambaan intelektual. Intelektual adalah orang bebas, ia bebas mengapresiasi, mengkritik, menghujat, dan melawan perampokan sosial dalam masyarakat tanpa beban dan rasa takut akan ancaman karir atau kekuasaan.

Akhirnya, kita berharap, di Unhas tidak ada lagi dosen yang menyiksa mahasiswa hanya karena konflik politik mereka, tidak ada lagi persiapan ?segudang? makanan ketika ujian skripsi, tidak ada lagi penerimaan dosen dengan menggunakan IPK ?(indeks prestasi kedekatan)?, tidak ada lagi korupsi sebagai bentuk perampokan sosial, tidak ada lagi ospek yang merupakan bentuk penghkianatan intelektual tertinggi di kampus ini, tidak ada lagi tawuran yang merupakan representasi ?tukang becak? ala kaum intelektual, dan semoga para Profesor, Doktor dan Magister di Unhas berlomba untuk menjadi pemikir yang akan melakukan ?teror? wacana ke publik. Suatu ketika bangsa ini akan menjadi milik kita, dunia ini akan kita genggam, tapi dengan satu syarat; jangan ada pengkhianat intelektual yang lahir dari kampus ini, apalagi sampai menghamba kepada penguasa.

Sumber : Fajlurrahman Jurdi ; Sekretaris DPD IMM Sulsel