Kamis, 02 Agustus 2007

PILKADA DAN ANCAMAN DEMOKRASI KOMUNITARIAN

Pergolakan politik lokal adalah fenomena baru bagi dunia politik Indonesia setelah lahirnya Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Secara filosofis, UU ini telah memberikan ruang demokrasi yang menganga lebar bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik yang berkembang, sehingga demokrasi perwakilan yang menjadi trend politik selama ini mengalami pereduksian makna, baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis.
Ruang demokrasi yang begitu luas ini merupakan sebuah gagasan yang sangat apresiatif jika dipandang dari segi filosofis, akan tetapi pandangan ini tidak bisa menjadi jaminan bahwa demokrasi bisa diterima di semua kalangan.
Secara sosiologis, kehadiran UU No 32/2004 telah membawa ancaman yang begitu serius bagi kongklusi masalah politik lokal, bahkan semakin rumit. Demokrasi lokal kemudian menjadi "buronan" bagi elite yang masih serakah terhadap kekuasaan, karena secara faktual masyarakat menjadi korban keganasan, retorika, dan permainan politik elite yang penuh dusta dan provokatif.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung harus diakui merupakan ijtihad politik yang sangat berani yang dilakukan elite politik bangsa ini. Mereka mampu menembus batas-batas kebudayaan, melabrak sistem, dan mengubur realitas sosial masyarakat yang masih pagan, irasional, dan penuh mitos politik dan sekaligus yang dibangun di atas multikulturalisme.
Hasil dari cerita sukses elite politik mengancam eksistensi bangunan komunialisme masyarakat yang selama ini dibangun di atas uniformitas, sekalipun uniformitas ini bukanlah jalan terbaik bagi proses demokratisasi masyarakat yang plural.
Tetapi uniformitas justru akan efektif jika elite politik mampu memaknai realitas sosial sebagai pijakan politik dalam upaya menciptakan demokrasi yang partisipatif.

Fenomena Baru
Pilkada langsung, sebagai sebuah formula baru dalam sistem politik keindonesiaan, merupakan gejala dendam politik yang ditumpahkan secara dramatis oleh kekuatan politik yang kecewa terhadap rezim politik patrimonialisme sebelumnya. Realitas ini yang menyebabkan "demam" politik melanda sebagian besar elite politik kita saat ini.
Setelah mengantongi cerita sukses melalui pendekatan positivistik di atas gigantisme rezim politik lokal, pilkada secara langsung kemudian menjadi ajang perebutan, perselingkuhan, kolaborasi, permainan, bahkan kegilaan elite politik lokal yang menjadi tontonan serius yang patut untuk tidak dipelajari oleh generasi politik.
Selain sangat machiavellistik, pikiran-pikiran "liar" aktor politik lokal yang penuh ambisi kekuasaan menjadi realitas sosial yang tak terhindarkan dan celakanya sangat menyesatkan.
Pilkada langsung Bupati Kutai Kartanegara yang merupakan percontohan pertama pilkada langsung di Indonesia, yang kemudian di susul oleh daerah-daerah lain di Indonesia sepanjang tahun 2005 adalah pertanda bahwa partisipasi demokrasi di tingkat lokal telah memiliki ruang yang terbuka.
Inilah praktik demokrasi liberal pertama di Indonesia sesungguhnya, dan kemungkinan tesis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992) yang begitu optimis dengan gelombang liberalisme yang diakhiri dengan kemenangan Barat menjadi tontonan di masyarakat Indonesia belakangan ini. Sehingga perdebatan antara Herbert Feith dengan Harry J Benda yang mempersoalkan kegagalan parktik demokrasi liberal di Indonesia pasca kolonial sudah tidak layak lagi diajukkan ke publik.

Ancaman Demokrasi
Akibat dari praktik liberalisme dengan gelombang yang begitu dahsyat ini, bukan berarti membawa berkah bagi dunia politik Indonesia, akan tetapi justru yang terjadi adalah resistensi masyarakat terhadap praktik liberalisme ini, karena di satu sisi mengancam lokalitas kebersamaan mereka, dan pada sisi yang lain, elite politik memanfaatkan situasi ini untuk menciptakan kondisi resistenstif, sehingga lahirlah massa melawan massa, dan massa melawan negara.
Pilkada Banten yang berbuntut konflik panjang adalah akibat ketidakjujuran elite politik lokal yang memanfaatkan komunitas lokal untuk mengacaukan situasi politik, sehingga mengancam bangunan lokalitas masyarakat.
Inilah yang ingin saya sebut dengan ancaman bagi demokrasi komunitarian. Bahkan hampir seluruh daerah yang nelaksanakan pilkada langsung di Indonesia mengalami chaos politik yang sama, karena masing-masing elite lokal memanfaatkan massa untuk membuat situasi kekacauan.

Komunitarianisme Sulsel
Setelah dua tahun penulis bergabung di Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Jakarta sebagai peneliti, survei terakhir mengenai respons masyarakat sulsel terhadap pilkada langsung di daerah ini sekitar tiga bulan yang lalu, seharusnya membuat kita, khususnya elite politik kecewa.
Hampir semua responden di beberapa daerah tidak mengenal calon gubernur, bahkan ada sebagian yang tidak mengenal gubernur yang berkuasa sekarang, sehingga pilihan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukkan masih tidak bisa dijadikan alasan rasionalitas kemenangan mereka.
Belum lagi kami menemukan sudah beredar brosur salah satu calon gubernur di masyarakat, bahkan di Maros sudah berdiri pos pemenangan salah satu calon yang juga belum tentu menjadi calon.
Kenyataan ini merupakan bentuk ambisi kekuasaan yang akan membawa ancaman bagi kebersamaan masyarakat di tingkat lokal, karena saling tuding antara pendukung yang satu dengan pendukung yang lain sulit untuk dihindarkan. Hanya gara-gara ambisi kekuasaan, dan celakanya masyarakat seringkali dimanfaatkan untuk melakukan gerakan anarkis demi ambisi mereka.
Kasus bongkar pasang baliho yang bergambar wakil gubernur di Bulukumba pada bulan Ramadan lalu, juga dapat menimbulkan situasi politik yang tidak sehat di masyarakat, karena bagaimanapun, pendukung irasional akan merasa terpancing dengan realitas yang ada, apalagi yang menjadi aktor pemainnya adalah pemimpin politik yang mereka anggap sakral.
Pada akhirnya, kita menyaksikan baliho, komunitas, basis budaya, klan, dan kekeluargaan yang sudah berubah menjadi tim kampanye dan tim sukses yang memiliki spanduk masing-masing. Juga brosur yang ditempel di berbagai mobil, pagar-pagar rumah, pinggir jalan, layaknya kampanye sudah dibuka, padahal kampanye belum dimulai.
Cerita-cerita di atas sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia politik kita, yang kemudian membawa ancaman bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat. Tetapi kita tidak bisa membiarkan bangunan lokalitas masyarakat terkoyak akibat keserakahan, ambisi, dan pengkhianatan atas nama kekuasaan.
Untuk menyelamatkan bangunan demokrasi komunitarian dari ambisi kekuasaan yang terlampau pragmatis ini, maka diperlukan keterlibatan berbagai pihak untuk menjaga tembok kebersamaan masyarakat, seperti KPU, dan partai politik.

Tidak ada komentar: