Minggu, 18 November 2007

PREDATOR REFORMASI; STUDI ATAS KEGAGALAN PERUBAHAN SOSIAL DI INDONESIA

Fajlurrahman Jurdi

Salah satu tim Deklarator dan Inisiator Central Study Resistance (CSR)-Jakarta



Tahun 1998 adalah merupakan tahun yang sulit untuk dilupakan bagi mereka yang hidup di akhir Abad XX di Indonesia, bahkan negara-negara di dunia. Keruntuhan kekuasaan rezim yang sangat langgeng berkuasa selama 32 tahun dan memiliki ideologi represif, adalah satu catatan tersendiri bagi suatu proses politik. Selama 32 tahun, Indonesia diperintah oleh rezim politik yang tidak normal cara berpikirnya, otoriter dan mempunyai kehendak represif atas demokrasi, sekalipun selama sekian puluh tahun itu demokrasi masih menjadi alat penindasan bagi pemerintah.

Selama rezim itu berkuasa, secara telanjang anak bangsa yang hidup di dalamnya mengalami resistensi kekuasaan yang sangat rentan, kekangan rezim yang terlalu tiran dan kekerasan politik yang menjadi ritual yang tak bisa dihindari. Kekuasaan rezim yang terlampau otokratik, resistentif dan kolaboratif dengan rezim pasar seperti Orde Baru, ternyata telah mampu menjalankan pilihan-pilihan politik yang sangat dilematis, bahwa Orde Baru adalah merupakan nama yang harus tetap melekat dalam pikiran anak bangsa yang hidup di akhir abad XX tersebut. Orde Baru adalah menjadi simbol kekerasan, penindasan dan pemiskinan, Orde Baru adalah simbol keserakahan, Orde Baru adalah simbol pelapukan moral bangsa ini. Orde Baru adalah simbol “pelacuran” kekuasaan yang harus selalu di ingat dalam pikiran anak bangsa ini, karena Orde Baru adalah sekaligus sebagai pembawa bencana dan pelaku kekerasan dalam dunia politik.

Di dalam tubuh Orde Baru, bertemu penyakit moral dan etik yang “merogoh” kemanusiaan, karena di dalam Orde Baru, pengkhianatan dan pembusukan politik adalah pilihan-pilihan politik yang dianggap segar oleh elit kekuasaan, sehingga di dalam tubuh Orde Baru melekat pintalan-pintalan penyakit sosial, politik, ekonomi, moral dan kekuasaan yang berlebihan. Orde Baru terlalu percaya diri dalam membawa bangsa ini menjadi baik sebagaimana yang di improvivasi.

Pidato-pidato kekuasaan menandakan pidato yang bernuansa kekerasan, “mulut” Soeharto sebagai pelakon tunggal kekuasaan Orde Baru adalah “mulut singa” yang lapar, selalu meminta korban. Sebagai aktor tunggal, tentu saja Soeharto telah berubah menjadi ideologi yang menakutkan, tertanam di kepala aparatus negara yang juga otaknya di ciptakan secara represif.

Pada konteks inilah, Soeharto telah mampu mentransendensikan diri sebagai “Nabi” politik yang selalu di takuti, “firman-firman” politiknya cenderung menggerakan aparatus untuk patuh pada kehendak-kehendak personalnya, yang membunuh kreatifitas, menekan sikap korektif, menindas kekuatan-kekuatan oposisi di Indonesia. Soeharto telah menjadi “nabi” kalau tidak bisa disebut sebagai “tuhan” bagi masyarakat, dengan dukungan ideologi pancasila dan di apresiasi secara patuh oleh Aparatus represif sebagaimana yang di katakan oleh Althuser.

Akan tetapi kepatuhan yang berpintal-pintal itu, juga bersamaan dengan tertanamnya perasaan eksesif dari gerakan sosial yang ingin merubah kepatuhan itu menjadi modal perlawanan. Tekanan, represi dan penindasan yang di agungkan secara terus-menerus ternyata bukanlah jalan keluar untuk menyelamatkan Soeharto dengan dinasti yang dibangunnya. Kemarahan anak muda Indonesia yang di desain oleh modernisasi selama kekuasaan Soeharto, bukan jaminan bagi langgengnya kepatuhan, bukan jaminan untuk menciptakan dukungan tanpa reserve kepada kekuasaan, akan tetapi dari bangunan modernisasi yang di gerakkan dibawah komando kekuasaan itu, benih-benih perlawanan itu tercipta secara genuine. Mereka yang di besarkan dalam ruang modernisasi dan sekaligus menjadi anak kandung rezim industrialisasi Orde Baru, tidak mampu menyelamatkan negara Birokratik tersebut dari kemarahan yang berpintal-pintal tadi, bahkan mereka menjadi bagian dari kelompok yang menghancurkan “ayah kandung” yang membesarkan mereka yang bernama modernisasi tersebut.

Soeharto sebagai simbol Orde Baru beserta pendukung setia dibelakangnya mengalami delegitimasi yang begitu serius di tahun 1998, bahkan pontang-panting menghadapi kemarahan generasi yang mereka didik di bawah ideologi kepatuhan tersebut. Generasi muda yang dibesarkan dalam budaya pop Jakarta, menjadi marah terhadap negara yang mendidik dan mengajarkan serta memfasilitasi budaya pop bagi mereka.

Orde Baru yang congkak, dan hampir menjadi “tuhan” tersebut dihancurkan oleh generasi yang mereka besarkan sendiri. Kemarahan, kutukan, protes, demonstrasi dan sebagainya, telah secara kasar mengusir otonomi Negara dibawah ketiak Soeharto tersebut, pada saat yang sama perubahan yang berjalan secara timpang sepanjang 32 tahun harus berakhir. Kemiskinan yang di tutup-tutupi dengan penindasan, demokrasi yang ditelikung oleh apparatus represif, hukum yang menjadi hamba penguasa, ideologi yang ditafsirkan secara tunggal, korupsi yang dijalankan secara kolaboratif antara pemiliki modal dan keluarga Soeharto, adalah representasi begitu jahatnya rezim Orde Baru, bahkan untuk menyelamatkan kejahatan-kejahatan tersebut harus menjalankan ritual pengorbanan. Nyawa manusia harus melayang tanpa beban, kebebasan harus di intimidasi adalah pengorbanan yang sangat mahal bagi masyarakat Indonesia hanya untuk menyelamatkan kekuasaan. Dan tumbal-tumbal itu telah menjadi korban bagi kelanggengan dan mempertahankan rezim otoriter yang ganas tersebut.

Semenjak Soeharto lengser dari kekuasaannya, satu dekade yang lalu, Indonesia telah memasuki apa yang dikenal dengan sebutan “Masa Reformasi”. Dalam khasanah ilmu politik sendiri, masa ini disebut sebagai masa transisi dari rejim otoritarianisme ke sebuah pembentukan rejim yang lebih demokratis. Sebuah masa yang menurut Guillermo O’Donnell (1986) dipenuhi oleh ketidakpastian, karena peluang untuk kembali mundur ke kutub otoritarianisme sama besarnya dengan peluang maju ke kutub demokrasi (Mada Sukmajati: 2004).

Lengsernya Soeharto dari kekuasaan pada tahun 1998 adalah merupakan bentuk kejengkelan, akumulasi kekecewaan, dan kemarahan masyarakat yang sudah tidak ingin lagi hidup dalam kepenatan rezim yang menyesakkan nafas tersebut. Rezim yang menyesakkan dada, menekan kebebasan dan membiarkan masyarakat menghirup “udara busuk yang diproduksi oleh rezim” tersebut.

Dalam masa transisi ini juga, dinamika kehidupan politik rakyat jauh lebih tinggi ketimbang dalam masa kekuasaan rejim otoriter. Hal ini disebabkan, pertama, adanya tarik menarik yang sangat kuat antara kekuatan-kekuatan pendukung status quo dengan kekuatan-kekuatan pendukung perubahan. Kedua, rakyat Indonesia di semua lapisan saat ini masih mengalami gejala yang dikenal dengan istilah “euphoria” politik. Ketiga, terkait dengan dua point sebelumnya, tidak adanya political will dan keseriusan terhadap pelaksanaan agenda-agenda reformasi (Mada Sukmajati: 2004).

Reformasi hanyalah cerita yang tak bermakna, mimpi yang tidak tercapai dari generasi muda Indonesia yang sempat mengamuk tahun 1998. Mereka yang berlomba-lomba menghancurkan Soeharto, mau tak mau harus di sebut sebagai pelaku yang melawan kekuasaan otokratisme negara tersebut, sebuah kekuasaan yang di besarkan dengan retorika politik yang penuh nafsu kekerasan.

Desakan-desakan oposisional yang menjelma menjadi kemarahan itu telah menimbulkan perlawanan yang tak terbendung, yang tidak pernah terjadi selama Soeharto berkuasa. Jika sepanjang episode tahun 1970-an, 80-an, hingga awal dan pertengahan 90-an adalah tahun-tahun bencana bagi gerakan sosial, maka di penghujung tahun 90-an adalah merupakan tahun kemenangan bagi mereka atas negara, yang telah sekian lama mengandalkan kepatuhan dan ketundukan. Dekade 70-an hingga akhir 90-an adalah merupakan dekade dimana personalitas kekuasaan Soeharto masih di anggap mitos yang sulit untuk di tembus daya keramatnya, sehingga bagi mereka yang mencoba menembus mitologi kekuasaan yang keramat tersebut, maka kutukan tak terhindarkan. Kekerasan atas kemanusiaan menjadi kenyataan politik yang hidup bersama dengan anak bangsa tersebut. Soeharto bersama aparatur represifnya telah melakukan proses pembusukan atas karakter kemanusiaan, melacuri demokrasi dan mengkhianati pancasila yang di tafsirkan secara sewenang-wenang oleh mereka.

Akan tetapi semua itu mengalami delegitimasi secara serius di penghujung abad XX, di saat-saat Soeharto mengalami puncak kemapanan kekuasaannya yang bersamaan dengan usianya yang tua renta, serta kelompok oportunis di belakangnya tidak lagi mendukungnya.

Pada akhirnya kekuasaan yang tua renta itu, di gugat keabsahannya, sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Beberapa Indonesianis merasa kaget dengan situasi Indonesia yang penuh dengan emosi. Sekalipun di awali dengan krisis kurs rupiah terhadap dolar, akan tetapi kemarahan itu adalah bentuk kutukan mereka terhadap negara yang terlalu birokratis, represif dan pada saat-saat tertentu sewenang-wenang. Kehancuran Soeharto bisa dimengerti adalah merupakan bentuk protes mereka terhadap negara yang begitu jahat atas kebebasan masyarakat, karena pada masa ini kebebasan di belenggu oleh kehendak politik yang personal.

Gerakan reformasi atau semi-revolusi tersebut adalah sebuah gerakan yang muncul dalam suatu konteks yang tidak di kehendaki oleh kekuasaan, juga tidak diduga oleh hampir saja semua kepala anak bangsa yang hidup di bawah komando Soeharto. Tetapi secara tiba-tiba, muncul sporadisme dan kekerasan yang sangat serius untuk melakukan delegitimasi atas kehendak negara Orde Baru.

Reformasi bukan hanya sekedar menghancurkan mitologi kekuasaan Soeharto yang birokratis dan represif itu, akan tetapi juga adalah untuk mendorong perubahan sosial politik yang hampir tidak pernah berjalan selama tiga dekade kepemimpinan Soeharto. Perubahan sosial yang tersumbat akibat kepemimpinan tersebut dibuka selebar mungkin dan perjalanannya dipercepat. Pada titik yang paling nadir, perubahan sosial yang kebetulan di beri nama reformasi itu kemudian mengalami disorientasi, bahkan telah menambah beban sosial politik yang makin berat. Reformasi, dengan segala resiko yang telah bersama-sama dengannya, telah mendorong Indonesia pada sebuah fase politik yang disebut oleh berbagai pengamat dengan transisi demokrasi. Sebuah fase yang menurut penulis penuh dengan intrik, dilema dan pilihan-pilihan yang amat sulit untuk di dijalankan.

Enam visi reformasi yang terdiri dari amandemen UUD 1945, supremasi hukum, mencabut dwifungsi TNI/Polri, otonomi daerah, budaya demokrasi yang rasional dan egaliter, serta pertanggungjawaban Orde Baru masih sebatas agenda, dan belum menampakkan hasil sedikitpun. Reformasi tahun 1998 sebagaimana yang penulis katakan di atas adalah merupakan satu bentuk semi-revolusi yang begitu dahsyat, membongkar secara telanjang kekecewaan rakyat atas Orde Baru. Menurut Eep Saifullah Fattah (2000: xxix-xxxiii) ada beberapa substansi perubahan mendasar bisa diidentifikasi dalam proses reformasi, yaitu:

Pertama, kekuasaan mengalami proses desakralisasi. Salah satu hakikat reformasi yang penting adalah terciptanya desakralisasi (pengakhiran kesakralan) kekuasaan beserta perangkat-perangkatnya. Di masa Orde Baru, kekuasaa cenderung disakralkan sehingga kritik atau penentangan atas kekuasaan tidak dimungkinkan. Saat ini proses desakralisasi itu sedang berlangsung. Di satu sisi desakralisasi adalah positif. Desakralisasi menunjang tumbuhnya kekuasaan yang sehat dan bertanggung jawab. Namun jika proses desakralisasi ini berlangsugn tanpa batas, yang mungkin muncul justru sebuah bahaya: lembaga-lembaga pemerintahan yang berfungsi mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara di tolak secara permanen, sebaik apapun yang dilakukan oleh lembaga-lembaga itu.

Kedua, pembangunan mengalami proses demitologisasi. Reformasi juga telah mengubah persepsi banyak orang tentang “pembangunan”. Jika sebelumnya pembangunan di mitoskan sebagai sesuatu niscaya yang mendatangkan kebaikan-kebaikan bagi masyarakat; saat ini pembangunan banyak di kritik sebagai salah satu sumber dari banyak malapetaka sosial-politik-ekonomi yang dihadapi rakyat. Saat ini banyak orang berbicara mengenai pembangunan sebagai sebuah kekeliruan.

Demitologisasi pembangunan di satu sisi merupakan hal positif. Adalah tidak sehat terlalu mengagung-agungkan pembangunan dengan pendekatan kacamata kuda (hanya melihat aspek keberhasilannya dengan menutup mata pada aspek-aspek kegagalannya). Namun di sisi lain, menafikkan sepenuhnya hasil konkret pembangunan, namun juga benar bahwa pembangunan telah mendatangkan banyak kemajuan fisik di tengah masyarakat. Pengakuan seimbang seperti inilah yang seyogyanya dikembangkan dalam masyarakat, sekalipun mesti diakui bahwa secara umum, pembangunan ala Orde Baru terbukti gagal menjalankan humanisasi; menjaga dan meningkatkan martabat manusia.

Ketiga, Orde Baru mengalami degradasi kredibilitas. Proses reformasi juga ditandai dengan turunya secara drastis kredibiltas Orde Baru. Saat ini, hampir tidak ada orang yang bersedia di identikkan dengan Orde Baru. Orde Baru menjadi sesuatu yang tidak laku. Padahal, sebelumnya, Orde Baru diagungkan secara heroik. Pendeknya degradasi kredibilitas Orde Baru terjadi secara tegas di tengah proses reformasi.

Keempat, hak dan kewajiban rakyat mengalami redefinisi. Segera setelah pergantian presiden, banyak kalangan seperti menjadi kuda liar yang baru dilepaskan dari istal. Kebebasan menjadi suasana umum dimana-mana. Ini merupakan salah satu gejala umum dimana-mana. Ini merupakan salah satu gejala dalam kerangkan terjadi redefinisi (pendefinisian ulang) hak-hak politik rakyat. Jika di masa sebelumnya sangat sedikit hak politik yang bisa dinikmati rakyat, di tengah reformasi, rakyat seolah-olah boleh menentukkan sendiri hak-hak politik yang harus dinimatinya. Daftar hak politik rakyat pun bertambah panjang secara dramatis. Bahkan setiap kali ada aturan – sedikit apapu aspek pengendalian dalam aturan itu – banyak orang serta-merta berteriak bahwa hak-hak rakyat akan dipasung kembali.

Kelima, sejarah mengalami reinterpretasi. Bersamaan dengan berjalannya proses reformasi, sejarah mengalami penafsiran ulang. Sebegitu hebatnya reinterpretasi ini berlangsung sehingga mantan Presiden Soeharto yang pada awalnya dipahami dalam sejarah sebagai penyelamat negara darikudeta komunis tahun 1965-1967, belakangan ini justru di gugat peranannya dalam G-30-S/PKI. Peranan-peranan yang dimainkan oleh Soeharto dalam perjalanan sejarah bangsa pun – misalnya dalam peristiwa serangan umum 1 Maret di Yogyakarta – mengalami gugatan dan reinterpretasi serupa.

Pendekatan sejarah yang tidak normatif memang sebuah dictum: sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Dalam kaitan ini, reinterpretasi sejarah yang dilakukan di tengah proses reformasi memang bisa dimaklumi. Ketika Soeharto menjadi “pemenang” selama masa Orde Baru, interpretasi atas sejarah telah dibuat sesuai dengan selera kekuasaannya. Peranan Sukarno dalam banyak hal, misalnya tidak terlampau di tonjolkan.

Keenam, pemerintah melemah dan seolah-olah dilemahkan. Reformasi juga ditandai oleh melemah dan dilemahkannya pemerintah. Ada anggapan yang saat ini berlaku umum bahwa pemerintah yang terbaik adalah pemerintahan yang bisa dibuat selemah-lemahnya. Dalam kaitan ini, bahkan berkembang anggapan bahwa segala sesuatu yang datang dari pemerintah pasti salah adanya. Setidaknya anggapan-anggapan semacam ini berkembang begitu tegas selama masa pemerintahan Habibie. Untungnya, selepas Pemilu dan SU MPR 1999, anggapan serupa itu mulai melemah sejalan dengan menguatnya legitimasi pemerintahan baru.

Ketujuh, informasi mengalami pluralisasi. Semenjak pergantian presiden pada 21 Mei 1998, pemerintah telah mengeluarkan sangat banyak surat izin usaha penerbitan pers baru. Jumlah media massa mengalami pembengkakan secara sangat cepat dan dramatis. Reformasi pun ditandai oleh berkembangnya kebebasan pers serta peningkatan lalu lintas informasi. Informasipun mengalami peragaman (pluralisasi). Tidak ada lagi sekarang sumber informasi yang cenderung tunggal dan jenis informasi yang cenderung seragam.

Kecenderungan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pasca reformasi adalah merupakan satu kenyataan yang paling penting untuk ditengok, dikaji dan di prediksi masa depannya. Negara yang mengalami transisi seperti Indonesia hanya memiliki dua pilihan yang sangat dilematis, yaitu: Pertama, terkonsolidasinya demokrasi dengan merapatnya kelompok-kelompok yang berpikiran reformis. Reformasi sampai saat ini masih berproses untuk meneguhkan dirinya. Reformasi masih harus di dorong hingga tuntutan-tuntutan reformasi dijalankan secara konsisten. Kedua, terjadi penelikungan transisi demokrasi untuk di tutup rapat prosesnya dan di geser kembali ke otoritarianisme. Kehancuran transisi akan terjadi jika elemen-elemen sipil yang memiliki akar pikiran yang demokratis tidak secara serius mengelola transisi ini menjadi lebih demokratis. Apalagi terjadi pertarungan kepentingan yang tanpa akhir, dan konflik antar kekuatan pro demokrasi memperebutkan kekuasaan, akan menambah legitimasi bagi kekuatan anti demokrasi untuk mengambil alih kekuasaan. Pada konteks ini, demokrasi akan gagal diterjemahkan dalam konteks sosial yang nyata, sehingga reformasi yang dikerjakan dengan pengorbanan yang sangat besar satu dekade silam hanyalah menjadi cerita untuk menambah emosi semata.

Reformasi dengan segala variannya, tentu tak mungkin di pisahkan dari proses transisi, sebuah proses yang memiliki akar genealogi yang kuat dengan tradisi yang tak mungkin di hindari begitu saja dalam arus modernisme kultural. Sebagai bagian dari proses politik, reformasi meniscayakan perubahan-perubahan sistemik dalam konteks politik negara, mulai dari perubahan mentalitas aktor politik hingga kultur masyarakat merupakan “khayalan-khayalan” yang harus tetap hidup dalam benak masyarakat, sehingga bersama-sama mendorong “kereta” demokrasi agar lebih terarah dan bertanggungjawab. Kereta demokrasi yang hidup itu adalah merupakan kereta demokrasi yang harus di bangun di atas kehendak arus bawah yang dijalankan secara eksesif bagi pertumbuhan ekonomi, politik dan kultural menuju kesejahteraan sosial.

Reformasi, di tandai dengan; (1). Hancurnya legitimasi kekuasaan negara Orde Baru yang birokratis, bersamaan dengan demitologisasi atas Soeharto yang menakutkan sepanjang sejarah kekuasaannya. Soeharto, yang hampir saja di nobatkan sebagai “nabi” bangsa bagi Indonesia, telah hancur berkeping-keping di atas gumpalan-gumpalan kemarahan massa yang mengamuk terhadap rezim tersebut. (2) ambruknya sistem kekuasaan dengan sistem politik yang “buas”, telah membawa Indonesia pada proses bertabrakannya diskursif. Antara diskursif yang satu bertemu dengan diskursif yang lain, antara wacana yang satu bertabrakan dengan wacana yang lain dalam suasana yang timpang, sehingga muncul kegaduhan diskursif. Kegaduhan itu adalah akibat tersumbatnya saluran politik yang di tutup rapat selama Orde Baru, dan baru menemukan ruangnya di saat-saat reformasi baru mulai. Hampir semua orang bisa berbicara tentang apa saja yang ingin dibicarakanya, bisa mengatakan apa saja yang ingin di katakannya, dan melakukan apa saja yang bisa dilakukanya. Semuanya serba bebas dan serba boleh. (3) karena semuanya di bangun di atas kebebasan, maka di sinilah kita baru menemukan Indonesia yang betul-betul dibangun di atas liberalisasi. Indonesia yang dulunya semasa Orde Baru adalah negara pancasila yang mengalami proses penipuan akibat kokohnya rezim itu menempatkan dirinya di atas segala kepentingan bangsa dan negara, maka reformasi telah merubah itu menjadi sangat bebas. Bebas untuk melakukan langkah eksesif bagi perubahan sosial, bebas untuk mengartikulasikan diri di atas titah demokrasi yang bisa di tafsirkan secara “liar” oleh hampir semua orang, telah membawa Indonesia pada situasi yang serba gamang dan bingung. Produk politik yang hampir saja setiap hari di keluarkan, aturan hukum yang selalu tidak pernah memiliki efek jera, teatrikal kekerasan yang mengatasnamakan demokrasi yang hampir setiap hari di pertontonkan, proses suksesi yang mengalami peningkatan partisipasi dengan adanya Pemilihan Kepala daerah secara langsung adalah bentuk-bentuk dari proses liberalisasi yang berjalan beiringan dengan reformasi. Pada saat yang sama, aset-aset negara banyak di privatisasi, sementara hubungan luar negeri yang pada masa Orde Baru yang dibangun di atas perasaan inferioritas tidak pernah mengalami perubahan. (4) situasi Indonesia pasca Orde Baru yang bernama reformasi ini disebut sebagai proses transisi politik atau transisi demokrasi. Yaitu situasi yang mengandaikan perubahan politik itu terjadi manakala seluruh sistem, mekanisme dan model pengambilan kebijakan di dasarkan atas partisipasi masyarakat sebagai pelaku. Jadi yang berhak menentukkan nasib dan masa depan sebuah bangsa bukan lagi berdasarkan atas kehendak bebas penguasa politik sebagaimana yang terjadi sepanjang kekuasaan Orde Baru, akan tetapi semuanya harus dibangun dengan konsensus bersama antara penguasa dan yang dikuasai. Jika konsensus itu tidak mencapai kesepakatan, maka tidak boleh menjalankan sesuatu. Dan jika konsensus tercapai, akan tetapi di khianati di tengah jalan, maka rakyat berhak merebut kekuasaan itu atau paling tidak mengkritik keberadaan kekuasaan tersebut, karena telah melanggar konsensus.

Karena itu, negara yang sedang mengalami transisi politik harus menciptakan keteraturan sosial, memikirkan konsensus yang memiliki masa depan dan tidak terjebak pada intrik politik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pergumulan antara kepentingan kelompok pro demokrasi dengan status quo yang keras akan mengancam proses konsolidasi yang berlangsung jika tidak dibarengi dengan dorongan-dorongan kuat dari kekuatan pro demokrasi. Mereka yang memiliki spirit perubahan dan konsensus politik untuk mendorong proses transisi politik yang berlangsung harus memiliki i’tikad baik agar transisi tidak dipenuhi oleh pertarungan kepentingan yang terlalu bias. Di tengah kegaduhan dan intrik politik yang saling bertabrakan ini, harus di tegakkan hukum untuk mengatur kegaduhan itu supaya tidak terjadi chaos dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Plato, Aristoteles, Hegel, Thomas Hobbes, Karl Marx, dan Max Weber menganggap negara sebagai arena untuk menciptakan keteraturan sosial, sekalipun negara juga menjadi alat bagi sekelompok orang untuk melakukan tindakan kekerasan kepada kelompok masyarakat tertentu. Menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya (Gerth dan Mills; 1962: 78; Arif Budiman; 1997: 6). Akan tetapi perlu ditegaskan di sini, karena negara memiliki alat-alat yang bisa digunakan untuk meredam kegaduhan, bukan berarti keteraturan itu diciptakan dengan penindasan.

Sebab itu, negara perlu melakukan pengaturan atas berbagai tindakan yang sporadis dan tiranik dari negara, negara harus tetap aman dari rivalitas fisik dari penguasa dan karenanya, kekuasaan itu tidak bisa diciptakan dengan kekerasan.

Salah satu ciri negara otokratik adalah menciptakan penindasan, melakukan represi atas intrumen demokrasi dan menjalankan kekuasaan secara birokratis yang Max Weber menyebutkan bahwa birokrasi yang rasional itu harus dibangun di atas pertanggung jawaban.

Keberpihakan politik suatu rezim, harus memikirkan tentang preferensi politik masyarakat, dan preferensi politik itu harus dibangun di atas pertanggungjawaban. Birokrasi rasional itu hanya ada dalam negara demokrasi, tanpa itu demokrasi hanyalah sekedar alat represi kekuasaan.

Bagi sebuah negara yang mengalami proses transisi politik, seringkali terjadi benturan kepentingan yang bisa saja membawa perubahan itu pada arah yang determinis. Perubahan yang determinis akan melahirkan sebuah anomali ketika proses itu menuju kearah kemajuan, yang tentu saja akan membuat demokrasi menjadi tidak terdorong ke arah yang lebih baik, akan tetapi akan membawa demokrasi pada titik nadir bahkan akan menuju lonceng kematian.

Hampir semua analis memprediksikan dan mengajukkan beberapa kenyataan-kenyataan penting diberbagai negara betapa demokrasi menjadi korban ketika proses transisi itu berlangsung. Mereka yang dibesarkan di atas suasana yang mapan, pernah hidup dalam sebuah kondisi politik yang tertutup dan menyesakkan dada, tentu akan sangat sulit menerima suasana baru yang serba bebas itu. Kenyataan inilah yang menyebabkan transisi menjadi dilema. Anak kandung rezim politik sebelumnya merasa terancam dengan kehadiran suasana yang baru tersebut, sehingga mereka mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan kenyataan-kenyataan baru itu.

Mereka inilah yang disebut sebagai kekuatan penghalang demokrasi atau disebut sebagai kekuatan status quo yang selalu menghambat laju pertumbuhan demokrasi. Anak-anak rezim yang di didik di bawah suasana dan kondisi yang patuh, tentu saja akan protes pada kenyataan-kenyataan yang ada. Sebab itulah, demokrasi menjadi penting untuk di dorong bukan oleh kelas yang mapan dan status quo, akan tetapi harus oleh kekuatan oposisi murni yang tidak pernah menginginkan imbalan material dan tidak mengharapkan berbagai konsesi dari tindakannya, kecuali untuk mendorong demokrasi agar lebih baik.

Orde Baru harus diakui telah mampu mensistematiskan perangkat-perangkat politik yang determinan atas semua pilihan politik rasional dari rakyat yang menyebabkan seluruh komunitas rakyat dari berbagai latar belakang merasa bahwa negara adalah merupakan penyelamat mereka. Menentang negara adalah tabu bagi mereka, karena negara telah di anggap sebagai sebuah entitas raksasa yang mampu menjawab persoalan-persoalan mereka dan melindungi serta mengamankan situasi sosial. Negara dipandang sebagai pusat dari sirkulasi kebenaran yang tak pernah cacat sehingga diskursif apa saja yang ‘muncrat’ dari ‘tenggorokan’ negara tidak pernah dianggap sebagai sebuah kesalahan. Inilah yang melahirkan kultus atas negara yang berlebihan, sehingga membutakan mata hati untuk tidak pernah melihat ‘sisi lain’ dari negara. Korupsi, kolusi, manipulasi, pengkhianatan, penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh negara meskipun berulang-ulang, tidak dianggap sebagai kejahatan dan kesalahan, karena negara bagi mereka sudah ditempatkan menjadi mitos.

Akan tetapi ada yang ‘aneh’ dari negara pasca Orde Baru. Jika pada masa Orde Baru negara memiliki mitologi tersendiri dalam ‘lembaran cerita sosial’, maka negara pasca Orde Baru adalah negara yang justru mengalami demitologisasi atas seluruh mitologi itu. Tiba-tiba saja negara tidak mampu mengendalikan gugatan komunitas yang selama ini percaya kepadanya. Pada akhirnya, negara dan transisi demokrasi yang menyertainya menjadi sebuah huru hara yang menakutkan. Negara tidak bisa mengendalikan emosi, kutukan dan ‘celoteh sosial’ yang muncul bersamaan dengan desakan kuat untuk menegakkan demokratisasi.

Apa yang menyebabkan negara demikian tidak berdaya menghadapi masyarakatnya?. Atau dengan kata lain, negara sudah tidak punya legitimasi sosial untuk mengajak masyarakat agar selalu patuh pada kuasa politiknya. Menurut Aprinus Salam (2006; 4-5) ada beberapa hal yang menyebabkan negara tidak mampu memainkan peranan penting dalam mengatur, menertibkan, dan mendisiplinkan masyarakat. Pertama, negara (dan dalam hal ini khususnya pemerintah yang diberi mandat) berdiri dalam satu krisis sejarah politik pasca Orde Baru yang digugat, sehingga ada ketakutan-ketakutan dan ketidakpercayaan diri, agar tidak megulangi kesalahan yang sama. Konsep negara seperti yang diteorikan oleh Weber, yakni satu institusi yang berhasil memiliki monopoli hukum untuk menggunakan kekerasan fisik di suatu wilayah tertentu, dan menjadi praktik bernegara di Indonesia pada masa Orde baru telah mengalami berbagai perubahan.

Tak dapat di sangkal lagi oleh siapapun, bahwa kuasa negara mengalami reduksi yang cukup serius semenjak Soeharto tersingkir dari panggung kekuasaan. Tentu saja reduksi kuasa negara itu tidak salah jika mengingat kembali artikulasi politik Soeharto yang demikian gigantis dan sekaligus penuh dengan pesona kekerasan dan dominasi.

Sejarah tidak mungkin digulung kembali seperti benang, akan tetapi yang bisa dilakukan adalah membersihkan ingatan atas apa yang menjadi kenyataan masa lalu, dikala Orde Baru hidup. Di sana kita bisa menemukan secara konprehensif bahwa negara yang kita maksud memiliki basis material dan otoritas sah untuk melakukan kekerasan, entah dengan alasan yang tidak masuk akal sekalipun. Sukses Orde Baru adalah sukses dominasi politik dan kemampuan manajemen politik Soeharto yang menelikung seluruh oposisi untuk di singkirkan dari hiruk-pikuk politik Indonesia, sehingga mereka tidak mampu berbuat lebih banyak dan bebas untuk mengontrol kekuasaan. Di samping itu adalah reproduksi diskursif yang dilakukan berulang-ulang telah mendorong Orde Baru menjadi kekuatan politik dominatif dan sekaligus sebagai negara otoriter terpanjang di Asia.

Selama Orde Baru berkuasa, hampir tidak pernah ada yang mendiskusikannya, karena rezim ini adalah sempurna di bawah kendali kepemimpinan personal. Akan tetapi dikala keretakan rezim itu muncul, maka hiruk-pikuk dan diskusi menjadi gosip yang selalu dibicarakan, hingga kejatuhannya. Fase Indonesia pasca Soeharto yang dikenal dengan fase transisi demokrasi, sebuah fase yang mengajukan gugatan-gugatan serius atas legitimasi personal masa lalu. Fase transisi ini harus diakui, masih mewariskan sejumlah dosa masa lalu yang tidak mungkin terelakkan. Berulang kali penulis mengatakan, kita bisa menghancurkan Soeharto beserta seluruh keluarganya dari panggung kekuasaan hingga tidak satupun tersisa, akan tetapi Soehartoisme tetap akan hidup bersamaan dengan upaya penghancuran itu. Soeharto sudah bukan sekedar pemimpin personal, akan tetapi Soeharto telah berubah menjadi sebuah ideologi yang tidak mudah untuk dihadapi.

Kisah menarik yang dilakukan oleh Hartono ketika kampanye Pemilu tahun 2004 yang mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadi antek-antek Soeharto adalah merupakan pertanda betapa kukuhnya legitimasi Soehartoisme itu menancap dan hidup di dalam tubuh sebagian kader Soeharto. “… Marilah jadi antek Soeharto.” Demikianlah ajakan Hartono, Ketua Umum DPP Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dalam beberapa kesempatan di kampanye pemilu legislatif yang lalu kepada masa pemilihnya. Ajakan yang terus menerus diulangnya dan kemudian menjadi simbol bagi partai politik yang dalam pemilu legilstaif lalu akhirnya mendapatkan 2,399,290 suara sah (2,11%) dan mendapatkan 2 kursi di DPR RI. Suatu prestasi yang tentu saja tidak terlalu mengecewakan untuk sebuah partai politik baru.

Fenomena Hartono adalah merupakan indikasi kuat bahwa Soehartoisme itu masih segar dalam tubuh sebagian aparatus ideologisnya di tengah arus transisi yang sedang berjalan. Soehartoisme menjadi sebuah keyakinan yang tak mungkin terhindarkan. Bukti kesuksesan itu bisa dilihat bahwa dengan ajakan itu Hartono masih bisa mendapatkan kursi di parlemen sekalipun cuma hanya dua. Ini menandakan bahwa masih banyak antek-antek Soeharto yang siap untuk menjadi penerus kekuasaannya yang sebenarnya tidak di sadari oleh kebanyakan elemen gerakan sosial dan kekuatan pro demokrasi di Indonesia.

Tesis itu juga tidak salah jika melihat jumlah suara di Partai Golkar, yang dulu merupakan mesin politik bagi kekuasaan Soeharto. Jika mengingat Partai Golkar, tentu saja tidak mungkin dipisahkan dari Soeharto, karena partai ini menjadi alat untuk mendorong secara terus-menerus dominasi politik yang dijalankan oleh Soeharto. Golkar dulu, yang berubah menjadi partai Golkar, bagi sebagian besar orang tidak ada yang mengalami perubahan signifikan, kecuali hanya perubahan slogan. Ketika orang meneriakkan demokrasi, Partai Golkar juga ikut meneriakkan demokrasi, ketika orang berbicara tentang kebebasan, partai inipun ikut berbicara tentang kebebasan.

Penulis masih sangat yakin, bahwa Soeharto mampu mendidik kader-kader politik ideologis, sistem politik ideologis, nalar politik kepatuhan dan partai yang pintar memainkan tipuan-tipuan kebenaran. Kita bisa membuktikan kasus yang menimpa Akbar Tanjung yang menjadi mantan terpidana kasus korupsi dana non bujeter BULOG. ia adalah kader Golkar dan kader Orde Baru yang sukses memimpin partainya di tengah hantaman dan hujatan berjuta-juta orang di negeri ini. Manajemen konflik dan kesabarannya telah membuat partai Golkar eksis dengan keadaannya. Tidak ada yang menduga kemudian akhirnya Golkar muncul sebagai partai pemenang dalam Pemilu legislatif 5 April 2004 yang lalu. Dengan mengumpulkan 24,480,757 suara (21,58%) dan mendapat 128 dari 550 total kursi di DPR, Golkar melaju melampau partai-partai politik yang lain (Sukmajati: 2004). Jika saja ingatan masa lalu tidak lagi menjadi penting bagi masyarakat Indonesia, maka apa yang kemudian ditakutkan oleh sebagian besar komponen bangsa ini, bahwa masyarakat kita sedang mengidap penyakit amnesia adalah tak terhindarkan. Bagi saya, fenomena Indonesia yang seperti ini adalah merupakan kenyataan yang tak terhindarkan, bahwa betapa masa lalu tidak penting sama sekali atau bahkan bagi mereka bahwa masa lalu Golkar adalah baik. Hanya ada dua kemungkinan dalam konteks ini. Kemungkinan pertama adalah bahwa masyarakat kita mengidap penyakit lupa sebagaimana yang penulis katakan di atas. Segala kesalahan dan kejahatan masa lalu adalah benar sesungguhnya bagi mereka, akan tetapi mereka cepat melupakannya, atau memaafkan dosa dan kesalahan itu, sehingga pilihan mereka atas Golkar adalah akibat dari penyakit amnesia yang melanda mereka. Atau justru anggapan kedua, yakni bahwa Golkar masa lalu bagi masyarakat kita justru telah membawa perubahan-perubahan penting bagi mereka. Memilih Golkar adalah pilihan sadar, pilihan Golkar adalah pilihan terbaik karena telah memberikan keamanan dan ketentraman bagi mereka. Jika pilihan ini yang digunakan, maka betul Soeharto sukses menjadi pemimpin ideologis, betul Golkar telah menanamkan tipuan-tipuan kebenaran kepada masyarakat, juga benar bahwa Orde Baru tidak salah dimata rakyat.

Kondisi ini tentu saja tidak mudah untuk diubah dengan cepat, karena harus membongkar tirani wacana, mengaduk-aduk sebuah keyakinan yang akan menghambat proses transisi demokrasi. Transisi hanya akan menjadi humor, bahan tertawaan dan hanya menghabiskan energi jika perasaan, pikiran dan keyakinan itu tidak mampu direduksi.

Kita harus akui, bahwa memang sejumlah tokoh kunci dan penting pada pemerintahan pasca Orde Baru masih merupakan bagian panjang dari tradisi politik yang diwariskan oleh pemerintahan Orde Baru. Mereka adalah kelompok elit yang bersikap pura-pura sebagai kelompok demokrasi yang kemudian merubah citra dirinya ketika kondisi politik mengalami perubahan. Mereka berteriak lantang untuk menegakkan demokrasi, akan tetapi tingkah lakunya tidak mengalami perubahan. Inilah yang disebut sebagai aktor politik ’diaspora’, yakni mereka yang meneriakkan demokrasi dan mengajukkan gugatan atas sistem politik otoritarian, padahal yang menciptakan sistem yang otoritarian itu adalah mereka. Perilaku yang di tunjukkan ke ruang publik adalah sama dengan mereka yang telah mati-matian memperjuangkan demokrasi, tetapi watak dasar sebagai antek Orde Baru seperti Birokratis Otoriter, Korupsi dan manipulasi tidak bisa dilupakan.

Sadar atau tidak, pemerintahan transisi adalah pemerintahan yang penuh dilema dalam mengambil pilihan-pilihan politik. Dilema itu menjadi pintalan yang sulit untuk di pilah satu-persatu, karena jika pilihan itu keliru dan salah kaprah, maka protes dan kutukan akan tetap terjadi. Mesin kekuasaan sekuat apapun dan sehebat bagaimanapun aktor yang memimpin sebuah transisi, tentu akan berhadapan dengan situasi politik yang dilematis, yang bisa saja membuat seseorang untuk mengambil keputusan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Kegagapan negara dalam menjalankan roda kekuasaan itu di tunjukkan oleh negara pasca Orde Baru. Di satu sisi tergantung pada negara-negara ekonomi liberal, sedangkan pada sisi lain tidak bisa menjelaskan ke arah mana kondisi politik itu di arahkan. Pada akhirnya, artikulasi politik rakyat adalah menuntut perubahan untuk mendapatkan kesejahteraan bagi mereka.

Karena itu, negara Indonesia pasca Orde Baru mengalami kegagapan dalam memilih cara dan gaya mengelola kekuasaan sehingga karena kegagapan tersebut otoritas, kapasitas, dan kompetensi negara menjadi sangat berkurang. Akibatnya, masyarakat tidak taat dan takut lagi kepada negara, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Kita bisa melihat, bahwa segala aturan yang dibuat oleh negara seringkali berhadap-hadapan dengan masyarakat. Inilah yang disebut dengan negara yang mengalami kehilangan legitimasi sosial. Apa yang terjadi pada negara yang mengalami kehilangan legitimasi sosial, tidak lain adalah berupaya untuk melakukan kompromi-kompromi politik yang menyebabkan pemerintah yang diberi mandat tidak mampu mengambil kebijakan-kebijakan yang tegas dan berwibawa, atau kebijakan yang diambil tidak begitu berpengaruh pada tingkat operasional. Pemerintah yang diberi mandat dikondisikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan insidental dan darurat, sehingga tidak terbantu untuk berpikir panjang dalam membangun negara yang kuat. Di samping itu, rendahnya integritas dan kualitas SDM yang berposisi sebagai aparatus negara, seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan, aparat pendidikan, ataupun instrumen politik lainnya, merupakan masalah krusial yang hingga hari ini masih menjadi salah satu problem utama negeri ini.

Karena itu, kecenderungan politik yang biasa terjadi adalah politik jalan pintas dan cari aman, tanpa didasari dengan pikiran yang matang. Politik jalan pintas inilah yang menyebabkan transisi demokrasi mengalami persoalan serius, karena sulit untuk menemukan aktor yang bisa dipercaya pada tingkat decision.

Negara Transisi dan Anomali Demokrasi

Pertumbuhan dan perkembangan politik negara Indonesia sebagaimana dalam pembahasan di atas, tentu saja adalah merupakan satu perspektif yang mungkin saja akan di gugat oleh kelompok lain yang mampu menemukan sisi lain tentang Indonesia. Konstruksi tentang negara sebenarnya tidak bisa dilihat pada sisi politik semata, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya juga adalah sisi ekonomi dan budaya yang cenderung di abaikan oleh banyak kalangan, dan mungkin juga tidak terlalu banyak disinggung dalam buku ini. Keberhasilan sebuah transisi demokrasi pada negara-negara yang pernah mengalami kondisi politik yang otoriter adalah sangat tergantung pada keadaan ekonomi negara yang bersangkutan.

Jatuh bangunnya sebuah negara yang hendak menegakkan demokrasi ternyata lebih banyak di pengaruhi oleh faktor krisis ekonomi dibandingkan dengan faktor lain. Hancurnya kondisi ekonomi yang bersamaan dengan melemahnya legitimasi negara otoriter adalah merupakan sebuah kenyataan yang tak terhindarkan untuk melihat bahwa betapa negara otoriter itu sulit ditembus basis kekuasaannya. Apa yang terjadi di Filipina, Taiwan, Korea dan Indonesia pada tahun 1998 adalah merupakan ‘drama’ krisis ekonomi yang menyakitkan. Di saat itu pula, legitimasi kekuasaan Soeharto mengalami krisis. Tentu saja kita bisa memberikan pandangan bahwa krisis ekonomi yang berbarengan dengan delegitimasi kekuasaan Soeharto itu adalah merupakan pertunjukkan yang tidak bagus, akan tetapi kenyataan politik telah memperlihatkan bahwa kondisi ini adalah sebuah kenyataan yang harus diterima.

Linz dan Stepan mencoba menjelaskan kejatuhan dan kebangkitan kembali demokrasi tidak dengan menelaah variabel-variabel konflik kelas atau kendala ekonomi, tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau kepemimpinan mereka. Walaupun keduanya tidak mengatakan bahwa kendala struktural tidak penting. Mereka yakin bahwa kalau terdapat lingkungan struktural yang sangat tidak menguntungkan bagi demokratisasi, seringkali itu terjadi sebagian karena ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi pelembagaan yang diperlukan bagi tumbuhnya demokrasi. Diamond, Linz, Lipset, O’Donnell, Schmitter dan beberapa ilmuwan lain yang menekankan variabel perilaku elit itu juga sepakat untuk mengikuti jalan yang dirintis oleh Dahl, yang yakin bahwa gradualisme, moderasi dan kompromi adalah kunci menuju keberhasilan transisi ke arah demokrasi. Ini dianggap tindakan politik yang bijaksana untuk mendemokratiskan kembali pemerintahan yang otoriter.

Mendemokratiskan kembali kekuasaan yang otoriter bukanlah persoalan yang mudah untuk ditembus, apalagi perangkat lunak sebagaimana yang dikatakan Oleh Eep Saifullah Fatah seperti yang penulis kutip pada bab lain di buku ini tidak terpenuhi. Perangkat keras terpenuhi dengan kehadiran lembaga pendukung demokrasi yang begitu banyak dengan alokasi akuntabilitas yang mungkin secara universal bisa dikategorikan baik, akan tetapi kesiapan mental masyarakat dan elit yang telah lama terbiasa dengan kultur politik birokratis cenderung menghalangi laju pertumbuhan demokrasi.

Pelembagaan demokrasi adalah penting sebagai instrumen untuk menilai baik atau tidaknya proses politik yang sedang dilewati. Akan tetapi jika berhenti pada pelembagaan institusi saja, maka kita akan terjebak pada wilayah demokrasi posedural dan pemenuhan-pemenuhan atas tuntutan material demokrasi. Sekalipun demokrasi prosedural dan segala tuntutan materialnya adalah penting untuk mengevaluasi jalan terjal demokrasi yang dilewati, akan tetapi yang lebih penting adalah mendorong aparatus politik negara untuk menyadari posisinya sebagai penguasa.

Dalam konteks ketidakjelasan kemana demokrasi itu melaju, maka tetap diperlukan kontrol politik dari kekuatan oposisi, agar tidak terjadi penelikungan atas transisi yang berputar. Menurut Hendardi (2002; 28) dalam paham negara demokratis modern, kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara merupakan terjemahan yang sempurna dari asas kedaulatan rakyat. Pada awalnya kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara “diejawantahkan” di dalam model demokrasi representatif semata. Namun dalam perkembangannya demokrasi repesentatif dapat terjerumus ke dalam pemerintahan elitarisme, di mana keputusan-keputusan penting hanya diambil oleh segelintir orang saja. Oleh karenanya, sangat rawan terhadap praktek-praktek penyelewengan kekuasaan.

Karena itu, proses reformasi yang bergulir dan dipelopori oleh gerakan mahasiwa baru hanya berhasil menjatuhkan rezim otoritarian Orde Baru. Transformasi nilai-nilai baru sebagai akar dari suatu proses perubahan fundamental menuju negara demokratis justru tidak sepenuhnya terjadi. Apa yang sesungguhnya terjadi di tahun 1998, tuntutan reformasi telah berhasil dibelokkan oleh kekuatan status quo yang seolah-olah hanya menjadi soal pergantian penguasa politik belaka. Terbukti kemudian, penyelewengan kekuasaan yang tampaknya di era reformasi tidak kalah dahsyatnya dengan apa yang terjadi di jaman Orde Baru. Kasus Bank Bali dan dan non-budgeter Bulog yang melibatkan ketua Golkar Akbar Tanjung ditengah-tengah euforia reformasi (Hendardi: 2002; 28).

Reformasi hanyalah merupakan kondisi yang terdesak untuk dilakukan dan sifatnya sangat gradual. Terdesak, karena harus segera mengakhiri kekuasaan otoriter Soeharto dengan memaksa dia turun dari kekuasaan, sedangkan gradual, karena memang reformasi itu hanyalah perubahan tambal sulam, perlahan-lahan. Ini berbeda dengan revolusi yang perubahannya sangat dahsyat yang memang tentu saja akan banyak melahirkan korban jiwa tetapi dengan keyakinan akan melahirkan perubahan yang totalitas.

Kondisi inilah yang menyebabkan transisi ini mengalami anomali, penuh dengan pilihan-pilihan yang mungkin saja sulit untuk dipahami. Tarikan-tarikan kekuasaan dan desakan kepentingan telah menyebabkan transisi menjadi bergerak kearah suatu pertanyaan besar, yaitu ”kemungkinan”. Mungkinkah transisi dilalui dengan model-model demokrasi yang diajukkan, bisakah transisi dilewati dengan liberalisasi aset-aset negara, mampukah negara melewati transisi dengan melibatkan aktor-aktor penguasa tertentu yang berselingkuh dengan kekuatan kapitalisme global. Semuanya adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk disebut sebagai pertanyaan sebenarnya, akan tetapi boleh jadi adalah suatu gugatan atas tesis-tesis mengenai masa depan politik Indonesia yang masih dalam keadaan gamang dan dalam bahasa penulis anomali. Anomali itu adalah situasi yang serba mungkin dan serba tidak mungkin, yang harus di dorong secara terus-menerus sehingga transisi demokrasi dengan harapan-harapan yang menyertainya menjadi tercipta dan terkonsolidasi.

Dalam konteks ini, Hendardi (2002; 28) berpendapat bahwa dalam masa transisi politik, keberhasilan demokratisasi yang ditandai dengan adanya proses kenegaraan yang transparan dan accountable, sangat bergantung dengan kegiatan partai politik. Karena partai politik merupakan organ terpenting dalam proses pembentukan masyarakat sipil yang demokratis. Oleh karena itu, moral politik dalam kehidupan bernegara harus menjadi perhatian besar bagi para partai politik. Dengan demikian partai politik bertanggung-jawab atas kepercayaan masyarakat terhadap terciptanya clean governance. Di sini rakyat harus merupakan bagian integral dari proses kontrol terhadap penyelenggara negara.

Tetapi apakah partai politik itu masih layak untuk menjadi pendorong demokrasi?. Secara sekilas dan dengan menggunakan premis umum, partai politik adalah merupakan pendorong demokrasi. Salah saru pilar negara demokrasi adalah partai politik. Karena di dalam partai politik itu menurut Sutoro Eko (2004; 53) pasti menjanjikan demokrasi, keadilan, kesejahteraan, keamanan, kedamaian, dan persatuan bagi semua elemen masyarakat Indonesia, yang tentu saja sebagai bentuk ekspresi dari pemerintahan yang berkuasa selama ini tidak tunduk pada prinsip-prinsip yang baik itu.

Fungsi-fungsi penting dari partai politik seperti sebagai sarana pendidikan dan agregasi hampir tidak berjalan sama sekali. Sehingga harapan bahwa partai sebagai kekuatan politik untuk mendorong demokrasi adalah mesti ditinjau ulang. Sekalipun secara teoritik dan praktik bisa kita temukan bahwa partai politik adalah faktor yang sangat penting bagi tumbuh berkembangnya sebuah negara demokrasi, tetapi khusus konteks Indonesia harapan itu barangkali sulit untuk diwujudkan, karena yang muncul adalah apa yang kita kenal dengan oligarki partai. Partai-partai politik yang ada hanyalah menambah kukuhnya dominasi penguasa atas rakyat yang menyebabkan kepentingan rakyat teralienasi dari perjuangan partai. Filosofi bahwa partai politik akan memperjuangkan kepentingan rakyat, di Indonesia justru tidak terwujud sama sekali.

Partai politik yang diharapkan untuk menyokong terwujudnya perangkat lunak demokrasi, membangun kesadaran masyarakat agar memahami demokrasi secara lebih konsepsional, artikulatif dan lebih bermakna, ternyata gagal menjalankan tugas-tugasnya, sehingga perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dengan mengharapkan terlalu besar keterlibatan partai politik adalah berlebihan. Sebab yang terjadi di dalam tubuh partai politik adalah memperjuangkan kelompok mereka sendiri, hingga menjarah harta rakyat sekalipun.

Partai politik dipercaya sebagai instrumen utama demokrasi, akan tetapi satu hal yang paradoks yang tidak mungkin dihindari adalah terjadinya apa yang disebut Robert Michel sebagai “hukum besi oligarki”. Yakni kecenderungan dominasi (penguasaan) sekelompok kecil orang (minoritas) yang tidak mewakili kepentingan mayoritas rakyat. Sebuah hukum sosiologi paling fundamental dan sekaligus paradoksal adalah bahwa organisasi (baik partai maupun negara) adalah sebuah entitas yang melahirkan dominasi oleh minoritas terpilih atas pemilih, oleh pemegang mandat atas pemberi mandat, oleh utusan atas orang yang mengutus. Barang siapa orang bicara organisasi, demikian Robert Michel, ia juga bicara tentang oligarki (Sutoro Eko: 2004; 55).

Di tengah situasi politik yang gamang dan tidak terarah, negara bersama semua aparatusnya tidak boleh berdiam diri. Kelompok oposisi dalam negara juga harus bekerja secara cepat untuk menghindari terjadinya pelacuran keadaan yang tengah terjadi untuk menunjang proses demokrasi yang berjalan. Sebab itu, negara harus bekerja menurut hukum besi keadaan, yakni cepat mengendalikan proses diskursif yang terjadi di saat persilangan berbagai kepentingan bertemu dalam titik yang berseberangan. Di sinilah kita tetap memandang negara sebagai instrumen penting untuk menetralisir keadaan dengan alat-alat yang dimilikinya. Hampir sebagian pemikir yang menulis tentang negara menekankan betapa besarnya peranan negara dan betapa absahnya lembaga ini melakukan tindakan atas warganya. Dalam hal ini Hobbes menegaskan, bahwa kekuasaan negara begitu penting, kalau tidak, para warga akan saling berkelahi dalam memperjuangkan kepentingan mereka (Budiman; 1997: 7). Dalam konteks ini Budiman mengajukan hipotesa, bahwa negara merupakan wakil dari kepentingan umum atau publik, sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi atau kelompok secara terpecah-pecah (Budiman; 1997: 7). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Plato dan Aristoteles yang mengatakan, bahwa kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar, tak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral yang rasional (Budiman; 1997: 8). Tegasnya Plato memberikan kerangka berpikirnya sendiri;

Dalam negara tersebut akan berkuasa akal (rasio) sebagai ganti Tuhan. Segala keinginan untuk mementingkan diri sendirti harus dihilangkan dahulu bilamana kehidupan negara yang sungguh-sungguh sempurna akan dicapai. Individu harus sama sekali tunduk pada keseluruhan (kolektitet) (Schmid; 1965: 26, Budiman; 1997: 8).

Untuk menghindari terjadinya personalitas pada pemegangan kekuasaan negara, maka tawaran yang diajukan oleh hampir semua orang untuk konteks transisi adalah tetap terciptanya kontrol sosial yang seimbang dalam masyarakat. Bagi penulis, tradisi kekuasaan yang personal justru akan bersikukuh pada kontekstualisasi negara yang birokratis, sehingga rakyat akan kesulitan untuk menerjemahkan entah kemana proses politik itu di arahkan, sehingga rakayasa sosial atas negara yang sedang berubah akan kesulitan. Persoalan ini dipertegas kembali oleh Hendardi (2002; 28) bahwa, kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara harus dapat bersifat langsung dan nyata. Kontrol rakyat terhadap penguasa hanya dapat berjalan efektif bila penyelenggara negara tidak dapat memaparkan program dan kebijakannya secara transparan, dengan demikian rakyat dapat secara nyata menuntut pertanggungjawaban atau akuntabilitas publik terhadap penyelenggara negara, misalnya melalui pemberitaan pers yang bebas dan pembentukan opini publik. Penyelenggara negara tidak dapat mengelak dari tuntutan transparansi dan akuntabilitas publik.

Jika partai politik telah gagal mengagregasi kepentingan rakyat, tidak ada partai oposisi yang terbentuk serta yang muncul adalah oligarki partai, sementara negara sendiri tidak bisa diharapkan untuk merekayasa masa depan demokrasi Indonesia, maka harapan kemudian harus bertumpu pada kekuatan basis sosial dalam masyarakat, dimana di dalamnya harus tercipta basis politik yang bisa diandalkan untuk mendorong demokrasi yang partisipatif dengan tetap menghargai kepentingan lokal.

Transisi itu penting untuk di desak secara terus-menerus agar tercipta kondisi politik yang benar-benar demokratis sehingga kekuasaan negara tidak bersifat mutlak sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Orde Baru itu langgeng dan aman adalah karena ruang-ruang diskusi ditutup rapat, akselerasi publik atas negara dibatasi, sehingga negara merasa menang diatas rakyat dengan mengalienasi peran-peran politik mereka.

Kita harus menghidari apa yang dikatakan oleh Plato dan Aristoteles yang melihat teori kekuasaan negara dengan menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Karena model itu telah gagal melahirkan negara yang sejahtera dan berkeadaban, sebagaimana ditunjukan oleh Orde Baru. Negara Orde Baru adalah negara yang gagal mengkonstruksikan perubahan sosial karena pada konteks ini negara gagal melahirkan rekayasa sosial yang bersifat terbuka bagi terciptanya demokrasi bagi rakyat. Akibatnya, demokrasi terkubur ditengah retorika kekuasaan yang justru mempertunjukkan sikap represivitas atas rakyat. Rakyat dipandang sebagai kelas yang inferior atas kekuatan politik negara, karena peran negara dominan, sementara rakyat minimal. Rakyat adalah konsumen dari reproduksi kuasa wacana dari negara, yang terkadang kuasa wacana itu dibangun diatas kepalsuan-kepalsuan ideologi dan politik.

Kecenderungan memandang negara sebagai basis perubahan sosial serta sebagai alat untuk mendorong demokrasi tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi jika saja optimisme itu berlebihan sehingga menyebabkan kita lupa akan esensi negara yang sesungguhnya, yaitu mengokohkan kekuasaan sehingga bisa menimbulkan tirani atas rakyat.

Kukuhnya dominasi negara atas rakyat serta suksesnya relasi kuasa wacana dalam tubuh negara otoriter birokratis adalah karena semua elemen pendukungnya bekerja secara massinis yang kemudian mendorong negara lebih mandiri dan tidak terkooptatif oleh elemen-elemen lain dari luar. Artinya negara sangat percaya diri atas bekerjanya seluruh sistem yang sangat prosedural dan birokratis itu, serta dukungan institusi-institusi represif seperti militer, sehingga ketika terjadi ‘kecelakaan’ politik yang menyebabkan kekukuhan negara itu berantakan, maka transformasi menjadi sulit tercipta.

Di saat yang seperti inilah perubahan sosial itu mengalami hambatan untuk bekerja secara maksimal dalam mendorong demokrasi. Desakan demokrasi yang kemudian digelar oleh semua elemen kebangsaan akan sulit untuk menyesuaikan diri di atas problem-problem politik dan konstitusional yang dialami. Sehingga transisi demokrasi harus melewati jalan terjal dan menghalau ‘hutan belantara’ dengan ‘duri epistemik’ rezim masa lalu. Pada sisi ini, demokrasi akan di tunggu oleh dua kemungkinan, yaitu suksesnya transisi itu dengan terbentuknya perangkat demokrasi, baik secara prosedural maupun secara kultural, dan kemungkinan kedua, yaitu terjebak kembalinya demokrasi kedalam perangkap politik birokratis. Keterjebakan ini ditandai dengan sistem politik yang tidak berubah, sekalipun beberapa aktor mengalami pergantian, serta kultur yang tidak bergeser dari kondisi sebelumnya. Jika demikian yang terjadi sudah bisa dipastikan, bahwa transisi demokrasi tidak terbentuk dan gagal.

Jadi, apa sumbangan negara dalam konteks ini, padahal penguasa atau elit pemegang kendali adalah aparatus negara sebagaimana yang disebutkan oleh Althusser?. Tentu mendedah konsep kenegaraan ini, penulis ingin mengajukan apa yang disebut dengan negara organis. Apa yang dimaksud dengan negara organis?. Stepan mengemukan lima prinsip dasar negara organis-statis (Alfred Stepan, 1978: 26-45) yaitu; pertama, negara pada dasarnya mempunyai tujuan utama adalah moral; kedua, tujuan moral itu merupakan kebaikan bersama (common good) yang diarahkan dan diwujudkan kedalam komunitas politik (political community); ketiga, common good merupakan prinsip yang berbeda dalam mengontrol setiap kepentingan yang ada; keempat, negara memiliki sifat yang kuat dan intervensionis, negara mempunyai peran yang relatif otonom dalam proses-proses politik; dan kelima, walaupun negara merupakan yang utama dalam komunitas politik, tetapi komponen dari negara seperti individu, keluarga, asosiasi-asosiasi pribadi, mempunyai fungsi sendiri di dalam organisasi secara keseluruhan. Akan tetapi, selain negara organis ini, ada juga yang disebut dengan negara fasis sebagaimana yang dikatakan oleh Budiman (1997:18-19). Menurut Budiman, Sekalipun negara organis seperti yang digagas oleh Hegel masih terdapat nilai-nilai positifnya, tapi bagian lain dari bentuk ekstrem negara organis adalah negara fasis. Kata fasis berasal dari bahasa Latin yang berarti “seikat”. Kata fasisme dimaksudkan sebagai sebuah ikatan yang kuat, ikatan yang erat, persatuan yang kokoh dari sebuah bangsa, dengan negara sebagai pimpinannya. Negara Fasis adalah sebuah negara totaliter, bukan sekadar otoriter. Kalau dalam totaliter masih memungkinkan pluralisme terbatas, dalam sebuah negara totaliter, tidak diperkenankan organisasi lain apapun tumbuh, kecuali organisasi yang di bentuk negara. Tidak boleh ada nilai yang berkembang kecuali yang diperkenankan negara. Untuk memperkuat realisasi gagasan ini Benito Mussolini seperti dikutip Christenson et al, (1971: 37) mengatakan, konsep negara dalam fasisme adalah bahwa negara itu meliputi keseluruhan; di luar negara tidak ada kemanusiaan atau kejiwaan yang bisa tumbuh, apalagi punya nilai. Dengan demikian, Fasisme bersifat totaliter, dan Negara Fasis – sebuah sintesis dan sebuah lembaga yang menggabungkan semua nilai – memberikan penafsiran, mengembangkan dan memberikan tenaga bagi seluruh kehidupan seorang manusia.

Artinya, negara totaliter dan otoriter tidak akan mungkin membiarkan demokrasi hidup, sehingga peluang-peluang kemungkinan untuk tumbuh berkembangnya demokrasi akan selalu dihadang dengan pilihan-pilihan politik birokratis. Karena dalam konteks ini negara harus dominan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politiknya. Bagi seorang penguasa di negara totaliter seperti Musolini, mengukuhkan dominasi negara adalah penting, sehingga demokrasi dialienasi dari persinggungan diskursif negara. Negara harus mengendalikan seluruh apa yang menjadi basis epistemik rakyat, sehingga pengendalian diskursif menjadi sangat urgen bagi pengembangan wacana dominasi dari negara.

Merujuk kembali pandangan Mussolini, maka bisa di sederhanakan, bahwa negara harus kuat, dengan kekuatan itu negara dapat memberikan kebaikan kepada warganya, negara pun harus menegakkan disiplin. Dalam konsep negara fasis, bahwa rakyat harus bersedia berkurban dan patuh. “Negara menekankan haknya untuk membangun kembali masyarakat – ‘membentuk’ manusia dan memperingatkan akibat yang buruk bagi mereka yang mau membangkang” (Christenson et al; 1971: 70). Negara memiliki otoritas yang besar untuk membangun, menyejahterakan rakyat, mengarahkan perubahan dan sebagainya, tidak pihak lain dalam negara yang berhak untuk menerapkan prinsip, nilai dan kebebasan. Christenson menegaskan; “Pendeknya, Negara menguasai semuanya – politik, ekonomi, dan moral”. Karena itu, semboyan kaum Fasis adalah “Percaya! Patuh! Berjuang! (Budiman; 1997: 20). Dalam merealisasikan konsep kenegaraan yang dipahaminya, negara Fasis merasa merekalah yang tahu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa dan negara, bentuk negara ini menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, negara Fasis mengajak masyarakat untuk percaya dan patuh kepada apa yang diperbuat oleh negara. Bentuk-bentuk lain yang mengikuti varian negara modern di lakukan pula dalam konteks negara Indonesia terutama yang dikembangkan oleh Orde Baru.

Pada akhirnya, Negara menegasikan kepentingan rakyat, terutama kebutuhan-kebutuhan rakyat. Karena itu, demokrasi di bunuh atas dasar kepentingan negara, negara harus kuat, sementara rakyat harus lemah, yang tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi harus dikubur dari panggung politik, karena ia akan mengancam represivitas diskursif yang dikembangkan. Reproduksi wacana dilakukan berulang-ulang dan aparatus negara yang patuh tadi siap menjaga seluruh proses berputarnya diskursif itu di dalam masyarakat. Inilah yang disebut dengan tirani wacana dan represi aparatus yang kemudian melahirkan negara otoriter.

Indonesia yang demikian adalah merupakan potret Indonesia dimasa Orde Baru, dimana kekuasaan dijalankan secara otoriter dengan kendali penuh kekuasaan. Pasca Soeharto, tentu saja harapan untuk mengubur masa lalu itu adalah merupakan keinginan semua orang. Mereka yang hidup di abad XXI, adalah mereka yang memiliki keinginan kuat untuk mendorong reformasi yang belum selesai diperdebatkan, baik pada tingkat diskursif maupun pada tingkat praksis. Demokrasi menjadi sebuah kenyataan untuk ditegakkan, akan tetapi demokrasi inilah yang menjadi persoalan hingga saat ini.

Transisi demokrasi yang dialami Indonesia adalah merupakan transisi yang panjang, belum ada tanda-tanda baik dari transisi ini, kecuali hanya kekecewaan yang berpintal-pintal dari masyarakat atas perilaku politik sebagian elit yang belakangan ini tambah “buas” lebih buas dari Orde Baru.

Karena itu, apa yang kita saksikan saat ini adalah merupakan minimalisme demokrasi yang direduksi secara vulgar oleh perilaku elit dalam pertunjukan keseharian mereka. Mereka melakukan “pembajakan” atas tesis demokrasi untuk memenuhi hasrat dan kepentingan pribadi/kelompoknya, akan tetapi lupa, bahwa bangsa dan negara adalah jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang tengah dilakukannya. Mereka ini telah mengeruk tesis demokrasi dari wilayah substansial-nya untuk dipraktekkan secara artifisial dan “banal” hanya untuk memenuhi hasrat-hasrat maksimal bagi kelompok/pribadi tertentu dan meminimalkan praksisisme demokrasi.

Pada akhirnya, demokrasi sudah bukan lagi persoalan penting untuk ditegakkan apalagi diperjuangkan. Demokrasi telah menjelma menjadi perilaku politik pragmatis yang dipertontonkan oleh aktor-aktor demokrat yang minimalis yang menyebabkan demokrasi di ‘kocak’ dengan pendekatan oportunisme politik.

Pada tingkat praksis, demokrasi telah berubah menjadi mesin kekuasaan bagi orang-orang tertentu untuk diteriakkan agar bisa disebut sebagai seorang demokrat. Seorang demokrat dalam situasi transisi seperti ini adalah merupakan penyelamat dan penyambung lidah kebenaran bagi masyarakat, sehingga isu demokrasi adalah merupakan isu yang sangat sensitif untuk dilempar ke ruang publik. Publik nanti akan menangkap isu itu, lalu menebarlah virus-virus demokrasi kepada rakyat yang di suarakan oleh seorang/sekelompok orang yang ingin disebut sebagai pahlawan demokrat. Padahal pada saat yang sama, demokrasi bagi mereka amat dibenci dan kebencian mereka atas demokrasi ini ditunjukkan pada keseharian mereka. Teriakan-teriakan demokrasi ini di ikuti dengan melakukan perubahan pada perangkat keras demokrasi, seperti perubahan konstitusi, reformasi lembaga-lembaga negara yang merupakan instrumen demokrasi, akan tetapi tidak menginjeksi secara lebih memadai dan jujur tesis demokrasi ini kepada rakyat. Mereka mengharapkan agar rakyat mau bersikap demokratis kepada mereka, akan tetapi mereka tidak ingin bersikap demokratis kepada rakyat. Artinya hanya rakyat yang di suruh untuk memahami secara demokratis apa yang mereka lakukan, akan tetapi mereka tidak mau bersikap demokratis kepada rakyat. Pada konteks inilah, kegagalan terciptanya perangkat lunak demokrasi itu tak terhindarkan, yakni dikala sejumlah kalangan elit tidak mau bergeser dari pragmatisme dan oportunisme politik. Mereka pura-pura menjadi seorang demokrat, pura-pura menjadi seorang pejuang reformasi, akan tetapi dibalik itu, mereka ingin menjebak transisi yang berkembang ke arah pemerintahan otoritarian.

Kontekstualisasi demokrasi sebagaimana yang di katakan Oleh Robert A. Dahl, misalnya akan tercermin bukan hanya pada perangkat lunak saja, akan tetapi juga pada perangkat keras demokrasi tersebut. Dahl (1986: 17-18) menyebutkan terdapat tujuh lembaga khusus yang berkembang yang membedakan rezim-rezim politik negara-negara demokrasi modern dari semua rezim lainnya; pertama, kontrol atas keputusan-keputusan pemerintah tentang kebijaksanaan secara konstitusional dibebankan pada pejabat-pejabat yang dipilih. Kedua, para penjabat yang dipilih selalu berasal dari proses pemilihan yang dilakukan secara jujur, setiap unsur paksaan dianggap sebagai suatu hal yang sangat memalukan. Ketiga, secara praktis, semua orang dewasa mempunyai hak dalam memilih penjabat-penjabat resmi. Keempat, secara praktis semua orang dewasa mempunyai hak untuk dipilih sebagai penjabat resmi dalam pemerintahan, meskipun batas umur untuk dipilih mungkin lebih tinggi dari batas umur untuk memilih. Kelima, warga negara mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapat tanpa ancaman akan dihukum, mengenai soal-soal politik yang ditentukan secara luas, termasuk melancarkan kritik terhadap para penjabat, pemerintahan, rezim, tata sosio ekonomi dan ideologi yang berlaku. Keenam, warganegara mempunyai hak untuk mendapatkan sumber-sumber informasi alternatif, karena memang sumber-sumber dimaksud ada dan dilindungi hukum. Ketujuh, untuk mencapai berbagai hak mereka, termasuk yang disebut di atas, setiap warga negara juga mempunyai hak untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan atau organisasi yang relatif independen, termasuk partai-partai politik dan kelompok kepentingan yang bebas.

Dahl ingin menyampaikan bagaimana idealnya demokrasi itu dibangun dan ditegakkan. Selain perangkat keras seperti partai politik, lembaga-lembaga negara dan beberapa institusi lain yang membantu mendorong demokrasi lebih maju, maka harus disediakan juga ruang ekspresi bagi rakyat untuk mengajukan gugatan dan protes atas praktek-praktek kekuasaan. Akan tetapi tidak berhenti sampai di situ, karena harus ada skenario lanjutan yaitu, rakyat berhak untuk mendapatkan pendidikan politik dari perangkat lunak tadi. Biasanya yang memiliki tugas seperti ini adalah partai politik.

Bingham Powel, Jr. (1982: 3, Afan Gaffar: 1989) mengemukakan pemahaman yang lazim digunakan dalam Ilmu Politik mengenai “political performance” sebagai indikator kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai berikut; Pertama, legitimasi pemerintah berdasarkan atas klaim bahwa pemerintah tersebut mewakili keinginan rakyatnya. Artinya klaim pemerintah untuk patuh kepada aturan hukum didasarkan pada penekanan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kehendak rakyat.

Kedua, pengaturan yang mengorganisir bargaining untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Pemimpin dipilih dengan interval yang teratur, dan pemilih dapat memilih diantara beberapa alternatif calon. Dalam prakteknya, paling tidak terdapat dua partai politik yang mempunyai kesempatan untuk menang sehingga pilihan tersebut benar-benar bermakna. Ketiga, sebagian besar orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon untuk menduduki jabatan penting. Keempat, penduduk memilih secara rahasia dan tanpa dipaksa. Kelima, masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti misalnya kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi, dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan.

Indonesia dalam masa persilangan waktu yang serba tidak jelas saat ini, telah melahirkan sebuah kondisi politik yang transisional. Kondisi dimana demokrasi memerlukan bangunan yang kuat dengan perangkat keras yang memadai yang di dukung oleh perangkan lunak yang cerdas. Apa yang disebutkan oleh Bingham di atas adalah merupakan salah satu pendekatan yang ideal mengenai sebuah kondisi untuk mencapai posisi demokratis.

Pada waktu yang berbeda dalam rangka memaknai demokrasi yang berisikan kompetisi, kontestasi dan partisipasi –­Larry Diamond, Linz dan Lipset, mendifinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok yaitu: pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara anggota masyarakat dan kelompok-kelompok kepentingan didalam memperebutkan jabatan pemerintahan yang punya kekuasaan dalam jangka waktu yang teratur dan tidak menggunakan daya paksa; kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum yang diselenggarakan secara adil dan teratur sehingga tidak satupun kelompok sosial (warga negara dewasa) tanpa kecuali; ketiga, tingkat kebebasan sipil dan politik yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik (Jurdi & Irianto: 2006).

Reformasi dan Kegagalan perubahan sosial di Indonesia

Prediksi tentang demokrasi di Indonesia telah sangat banyak dilakukan oleh para pakar. Ada yang begitu optimis dengan keadaan Indonesia akan sukses menuju transisi demokrasi, akan tetapi ada yang pesimis bahwa transisi demokrasi yang kita lewati saat ini akan gagal. Kegagalan itu terindikasi dengan bangunan politik pasca Soeharto yang rapuh, serta jabatan-jabatan kekuasaan yang diisi oleh orang-orang lama yang dulu juga berkuasa pada masa Orde Baru. Pada sisi yang lain perangkat keras demokrasi tidak bisa menjamin terbentuknya situasi demokrasi yang sukses, karena antara satu lembaga dengan yang lain saling tumpah tindih fungsi dan kewenangan yang kemudian melahirkan perebutan wilayah kekuasaan, sehingga keinginan untuk mendorong demokrasi bukan lagi menjadi tanggung jawabnya. Jika merujuk pada pandangan Elizabeth Santi Kumala Dewi (2005), kegagalan demokrasi itu disebabkan oleh; pertama, Lembaga Demokrasi Belum Menjadi Alat Demokrasi yang Baik: Harus diakui bahwa proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru 1998 lalu memang berlangsung cukup dramatis hingga ada yang menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar (third largest democracy in the world) setelah India dan Amerika Serikat. Namun, terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas selama masa transisi ini belum menunjukkan adanya kerangka kuat untuk mewujudkan kemapanan budaya demokrasi. Tumbuh sumburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi melalui pemberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, ternyata belum bisa membangkitkan pilar-pilar demokrasi yang kokoh. Artinya, lembaga-lembaga demokrasi yang tumbuh subur di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru lalu belum bisa menjadi alat demokrasi yang baik. Bahkan, sistem kepartaian di Indonesia yang dibangun selama masa transisi ini belum kokoh yang memiliki kapasitas dalam melancarkan partisipasi politik masyarakat melalui jalur partai hingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Perlu dicatat bahwa yang mendorong pembangunan politik bukanlah banyaknya jumlah partai politik yang muncul, melainkan tergantung kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian dalam menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Tapi, jika melihat sepak terjang aktor-aktor keterwakilan dalam lembaga parlemen dan partai politk di Jawa Tengah selama masa transisi ini, masih terkesan masih carut marut atau mengalami ketimpangan dan cenderung menegasikan aspirasi publik. Ketika pemerintah pusat sudah mulai membagikan kewenangannya kepada pemerintah daerah melalui pelaksanaan Otonomi Daerah, partai politik justru masih bersifat sentralistik hingga para pengurus partai di tingkat lokal tetap terhegemoni oleh kepentingan sempit pengurus partai di tingkat nasional. Akibatnya, kemungkinan terjadinya tarik-menarik kepentingan di tingkatan internal partai politik bisa menciptakan kerwanan akan terjadi konflik yang bisa menimbulkan konflik kekerasan di tingkat massa pedukung partai.

Kedua; Sifat Partisipasi Politik Masyarakat Masih Tradisional: Pemerintahan sentralistik-militeristik dan kebijakan massa menggambang yang diterapkan Orde Baru selama 32 tahun rupanya benar-benar telah melumpuhkan wacana demokrasi dalam kehidupan masyarakat hingga menyingkirkan praktik-praktik seleksi kepemimpinan secara fair yang berdasarkan kompetensi, kapabilitas, dan integritas individu. Sementara pendidikan kewarganegaraan (civic education) selama masa transisi demokrasi ini belum diikuti peningkatan partisipasi politik masyarakat yang cukup signifikan dalam mendorong terwududnya Good Governance di pemerintahan lokal. Pengaruh budaya Jawa; seperti ewuh pakewuh (sungkan) dalam mengeluarkan pendapat atau kritik, dan rendahnya tingkat pendidikan serta kondisi perokonomian masyarakat Jawa Tengah masih menjadi penghambat upaya pembangunan kekuatan civil society sebagai pilar demokrasi. Padahal, tingkat partisipasi politik masyarakat yang benar-benar belum otonom hanya akan mewujudkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dimobilisasi. Hal ini jelas sangat berpotensi menjadi sasaran manipulasi atau rekayasa pihak tertetu yang bisa menimbulkan konflik horizontal antar kelompok politik.

Transisi demokrasi bisa diramalkan dengan melihat kondisi politik Indonesia yang penuh dengan harapan-harapan yang terlampau optimis, akan tetapi tidak diiringi dengan perubahan-perubahan yang signifikan dari semua aspek. Justru perubahan yang terjadi adalah perubahan yang tambal sulam, tidak terarah dan memiliki konstruksi demokrasi yang dilacurkan demi kepentingan kekuasaan. Karena aliansi kelas menengah oposisi tidak terkonsolidasi secara lebih baik, bahkan hampir tidak terbentuk sama sekali, sehingga transisi hanyalah menjadi alat analisis sebagian elit.

Di sini Vedi R. Hadiz (2005: xvii) yang tampaknya menampik kemungkinan adanya semacam aliansi lintas kelas yang mampu menyusun dan mendesakkan agenda-agenda transformatif di era pasca-Soeharto.

Vedi percaya, bahwa sifat dari relasi kekuasaan (power relations) yang menopang rezim yang lama tidak mengalami perubahan yang fundamental. Konsekuensinya, kerangka institusional kekuasaan dapat berubah – misalnya kearah yang lebih demokratis dan terdesentralisasi sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto – tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks institusional yang baru. Dalam hal ini, relasi kekuasaan yang dimaksud adalah yang melekat pada semacam predatory capitalism yang masih bercokol dengan kuat sebagai warisan utama era Orde Baru yang panjang. Jenis-jenis kekuatan lama yang menopang otoriterisme Soeharto kini menjadi bagian penopang demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru (2005: xxv).

Sehingga transformasi – baik dalam bentuk system maupun institusi – sebagaimana yang awalnya diprediksikan gagal akibat dari tidak terjadinya pergeseran aktor dan mentalitas para aktor. Relasi Soeharto yang telah menanamkan benih-benih ideologi politik konservatif tidak selamanya mudah untuk dihancurkan sekaligus, sehingga yang terjadi pada rezim pasca Orde Baru adalah transplantasi “penyakit” yang kukuh berkuasa selama 32 tahun itu tanpa mengalami perubahan fundamental. Mereka yang berkuasa pasca Soeharto sulit untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu, karena terlalu banyaknya kader ideologis yang dihasilkan oleh Soeharto serta kuat pengukuhan system politik sentalistik selama rezim ini berkuasa.

Siapapun yang berkuasa pasca Soeharto, sulit untuk keluar dari kukuhnya hegemoni system dan ideology politik masa lalu. Habibie, Gusdur, Megawati, hingga SBY, tidak mampu mendorong perubahan Indonesia untuk menuju ke arah situasi demokratis, sebagaimana janji dan komitmen politik yang mereka tawarkan kepada publik. Hampir semuanya terjebak pada premis-premis kekuasaan “predator” yang menyeret mereka pada banalitas kekuasaan. Tentu demokrasi tidak mungkin diharapkan dari para “predator politik”, karena mereka tidak bisa menarik diri dari kekuatan yang menggenggam mereka, baik itu system politik maupun kapitalisme yang memaksa mereka untuk secara terus-menerus patuh. Dari empat presiden Indonesia pasca Orde Baru, tidak ada yang berani memutus hubungan dengan IMF dan mampu menyelesaikan utang-utang Negara. Pada akhirnya komunikasi politik elit di hadapan Negara-negara “kapitalisme rente” seperti AS adalah komukasi inferior. Inilah yang disebut oleh Vedi dengan “predator capitalism”.

Untuk melihat konteks bahwa “predator politik” sulit untuk dihindari di dalam permainan politik pasca Orde Baru, Vedi mencoba untuk melihat Gus dur sebagai contoh. Gus Dur adalah merupakan seorang intelektual proreformasi dan prodemokrasi sebelum menjadi presiden, ternyata harus tersedot juga ke dalam logika predatory politics. Untuk survive, sang kiai liberal pun harus menggunakan taktik yang kurang lebih sama dengan lawan-lawannya, walaupun akhirnya dia kalah. dengan vulgar Vedi mengatakan, bahwa pada dasarnya perangkat kelembagaan kehidupan demokrasi di Indonesia telah ‘dibajak’ oleh kaum ‘penjarah’ politik.

Tetapi yang lebih parah, kepemimpinan Megawati yang mengaku sebagai pelindung wong cilik juga tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Penjualan aset negara seperti Satelindo dan pembelian pesawat Sukhoi dari Rusia, adalah kebijakan politik yang tidak bisa menghindar dari tesis “predator” tadi. Sehingga siapapun yang berkuasa di Indonesia akan gagal membangun demokrasi sebagaimana i’tidak awal mereka di saat-saat kampanye politik dilakukan. Karena terlalu banyaknya ranjau yang harus dilalui oleh aktor-aktor tersebut, sehingga keinginan untuk melakukan perubahan serat keinginan untuk membangun demokrasi sebagaimana keinginan kuat di awal-awal kehancuran Orde Baru akan selalu gagal.

Tidak ada yang menjamin jika saja Amien Rais sempat menjadi presiden, tentu sulit untuk keluar dari perangkap sistem dan ideologi politik konservatif yang begitu kukuh berkuasa selama 32 tahun dibawah Soeharto. Bukan mustahil Amien Rais akan menjadi “predator politik” yang juga sama dengan presiden yang lain. Karena perangkap yang dibangun menyulitkan orang untuk mengelak dari kenyataan-kenyataan politik yang ada. Itu juga yang sedang menimpa Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat ini, yaitu terjebak pada tipuan-tipuan sistem politik ”predator”. Karena SBY yang pada awalnya merupakan harapan untuk mengembalikan posisi Indonesia yang pincang dan mendorong demokrasi, justru gagap untuk bersikap konsisten. SBY tidak lebih dari ”budak” kapitalisme rente yang juga sama dengan mereka yang sebelumnya. Di sinilah kita mesti melihat apakah Indonesia cukup kondusif untuk di dorong menuju transisi demokrasi ataukah justru demokrasi hanyalah menjadi isu elit belaka yang tidak mungkin bisa terwujud sama sekali?.

Tidak salah memandang politik Indonesia pada aras yang tumpang tindih, yaitu antara memasuki wilayah banalitas politik dengan terlibatnya aktor lama yang tidak menghendai perubahan terjadi pada sistem politik Indonesia pasca Orde Baru. Kepemimpinan politik yang hendak mendorong kereta demokrasi yang kemudian semuanya berakhir dengan gagal, adalah akibat terlalu kuat dan kukuhnya hegemoni politik Orde Baru yang diwariskan melalui aparatus ideologisnya yang kemudian berganti muka di dalam sistem dan institusi-institusi demokratis. SBY yang dipundaknya hendak mendorong perubahan penting bagi transisi demokrasi yang tengah terjadi, tidak mampu berbuat banyak, selain karena dia adalah merupakan kader politik Soeharto yang dibesarkan dalam tradisi kepemimpinan militer, juga prinsip oligarki militer yang dikembangkan oleh Soharto – dimana SBY adalah bagian dari pelakunya – masih melekat bersama-sama dengannya. Oligarki militer yang kemudian menguasai kantong-kantong ekonomi Indonesia selama masa Soeharto, telah mendorong militer menjadi pelaku bisnis dari pada menjalani profesionalisme sebagai pasukan negara. Karena mereka mampu meyakinkan investor asing bahwa Indonesia aman, maka injeksi modal kapitalisme yang masuk, juga ikut dinikmati oleh elit-elit militer, dimana di dalamnya adalah juga SBY.

Dalam konteks ini, tentu saja transisi demokrasi akan gagal bahkan bisa jadi akan muncul faksionalisme politik untuk menghancurkan transisi menuju kekuasaan otoritarian baru yang jauh lebih ganas dari masa lalu. Gelombang balik otoritarianisme ini akan berpeluang besar terjadi jika melihat Indonesia yang sedang terjadi saat ini, dimana situasi politik serba tidak jelas.

Fakta bahwa SBY tidak bisa keluar dari cengkeraman masa lalu dan sekaligus sebagai pemimpin yang patuh pada kehendak penguasa kapitalis adalah tak terhindarkan, jika melihat kebijakan-kebijakan dan perilaku politiknya. Penyerahan pengelolaan pertambangan Blok Cepu kepada AS sebagai operator sebagaimana yang dibahas sekilas di bab selanjutnya adalah menjadi salah satu tanda bahwa SBY tidak lebih dari ”predatory capitalism” sebagaimana yang disebutkan oleh Vedi. Dan ini merupakan awal dari kegagalan untuk membangun demokrasi Indonesia dengan komitmen kebangsaan yang lebih mandiri, karena harus tetap berada dibawah kendali politik dan ekonomi negara-negara satelit seperti Amerika. Fakta yang lain adalah persiapan SBY pada saat kunjungan Josh W. Bush (presiden AS) ke Indonesia tahun 2006 yang mendapat kritik dari berbagai kalangan. Bush bagaikan ”tuhan” disambut dengan sangat meriah, mahal dan yang paling menyakitkan sepertinya Indonesia sedang di jajah. Kedatangan Bush sebagai kepala negara penjajah, diterima oleh Indonesia yang terjajah dengan cara-cara yang tidak masuk akal. Fenomena itu menandakan Indonesia yang inferior, Indonesia yang masih terjajah, sama dengan dibawah kolonialisme Belanda. SBY tentu saja adalah biang keladi dari semua itu, karena sebagai ”predator capitalism” ia harus mematuhi kehendak negara satelit itu.

Karena itu, harapan untuk mendorong demokrasi dan pemerintahan yang mandiri pasca Orde Baru adalah merupakan harapan yang terlampau gigantis, mengingat posisi politik Indonesia berada dibawah kendali negara-negara raksasa itu. Belum lagi anak kandung Orde Baru masih tumbuh subur diberbagai institusi politik yang hendak di dorong ke arah demokrasi.

Liberalisme politik Indonesia pasca Soeharto, tidak serta merta menghancurkan karakter dasar rezim ini dari praktek-praktek keseharian. Karena itu sudah menyangkut tradisi kerangka politik yang sulit untuk diajak kompromi dalam jangka waktu yang pendek, sehingga perjalanan panjang transisi demokrasi melalui jebakan-jebakan terjal yang sangat berbahaya.

Sehingga menurut Vedi (2005: xxix) posisi Yudhoyono harus dilihat dalam konteks struktur sosial, ekonomi dan politik secara lebih holistik, sebagaimana juga aktor politik lainnya. Tentu dia tidak bisa dipandang semacam Ratu Adil, sebagaimana mungkin diharapkan oleh para pendukungnya. Sebagaimana diketahui, Yudhoyono adalah politisi-jenderal – dibesarkan pada masa Orde Baru – yang harus menavigasikan dirinya di antara berbagai ’karang’ berupa sejumlah kepentingan yang saling berkompetisi untuk mendapatkan tempat yang aman dan menentukan dalam masyarakat dan politik Indonesia pasca-Soeharto. Mereka berkompetisi untuk memenangkan akses dan kontrol terhadap sumber daya dan institusi negara, pusat maupun lokal, yang memungkinkan pembentukan dan pelanggengan jaringa-jaringan patronase yang pada dasarnya bersifat predatoris. Sebagaimana aktor politik manapun, dia dihadapi oleh berbagai pilihan. Tetapi pilihan dan kemungkinan yang tersedia untuknya dibatasi pula oleh faktor-faktor seperti konstelasi kepentingan, struktur kekuasaan, dan warisan kesejarahan.

Karena itu, lanjut Vedi, masa depan Indonesia tidak semata-mata tergantung niat baik seorang pemimpin, apakah itu Yudhoyono atau pemimpin yang lain. Yang harus kita pahami adalah sifat dari konstelasi kekuatan dan kepentingan sosial yang ada. Di mana tempat Yudhoyono didalam konstelasi tersebut?. Mewakili kepentingan atau koalisi kepentingan macam apakah dia?. Dalam hal ini, kita perlu mempertimbangkan latar belakangnya seorang jenderal Orde Baru yang senior, sosialisasi politiknya dalam ideologi Orde Baru, serta keperluannya terhadap dukungan pemodal, birokrasi negara, serta kepentingan institusional aparat militer dan keamanan, yang resmi maupun setengah-resmi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau gebrakannya terhadap korupsipun, yang digembar gemborkan pada awal masa pemerintahannya, dalam kenyataannya tidak menghasilkan buah yang terlalu hebat sampai saat ini. Belum lagi kepentingan investor asing, yang sering diwakili melalui tekanan dari lembaga-lembaga internasional seperi Bank Dunia atau IMF, yang selalu juga harus dipertimbangkan oleh Yudhoyono karena keterperosokan Indonesia dalam krisis ekonomi sebelumnya (2005: xxx).

Sebab itu, meramalkan perubahan sosial di Indonesia dimasa depan tidak bisa lagi diharapkan kepada elit kekuasaan, karena mereka adalah agen komprador dari rezim sebelumnya yang bersilangan dengan kekuatan kapitalisme yang tentu saja akan memerangkap Indonesia pada tipuan gradualisme. Janji-janji perubahan hampir didendangkan oleh empat presiden Indonesia pasca Soeharto, akan tetapi kesemuanya terbukti gagal mendorong perubahan tersebut.

Karena itu, jalan yang akan penulis tawarkan hanyalah satu untuk menuju Indonesia yang merdeka, yaitu revolusi, dengan mengerahkan kekuatan massa. Menghancurkan seluruh agen komprador, mendesak demokrasi agar segera di tegakkan, serta mengutuk agen-agen “jahat” kapitalisme yang hidup di kampus-kampus. Mereka itu telah menjadi parasit yang handal dalam upaya untuk menjebak demokrasi agar masuk pada premis-premis agen komprador dengan jalan legitimasi intelektual. Mereka mendapatkan upah yang tinggi atas “kejahatan” yang dilakukannya, dan mereka bagaikan buruh di pabrik-pabrik industrialisasi. Atau boleh jadi mereka adalah buruk intelektual yang menciptakan tipuan-tipuan kebenaran, membenarkan kepalsuan-kepalsuan dan mengajak kompromi pikiran-pikiran jahat mereka untuk menghancurkan demokrasi, mengalienasi rakyat dari hak-hak politik mereka, dan melakukan tipuan-tipuan massal atas kebenaran-kebenaran yang otoritatif. Mereka adalah dosen-dosen liberal, professor-profesor liberal, doctor-doktor liberal, Koran-koran kampus liberal, radio-radio kampus liberal yang belakangan mereka itu disebut sebagai kekuatan civil society. Adakah civil society yang menjadi budak liberalisasi pasar, hamba kapitalisme dan dan melakukan pengingkaran atas demokratiasi?.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, disana bersemayam kemerdekaan, jika engkau paksa aku diam, akan kusiapkan untukmu pemberontakan.

[1] . Makalah yang di sampaikan pada saat Diskusi Publik yang dilaksanakan oleh kelompok studi Eka Prasetya di Kampus UI Depok pada tanggal 3 November 2007.

[2]. Mantan Sekum IMM Kom. FIS UNHAS Periode 2003-2004, PC. IMM Makassar Perintis periode 2003-2005; anggota Lembaga Pers DPD IMM Sul-Sel Periode 2003-2005; Sekretaris DPD IMM Sul-Sel periode 2005-2007; redaktur ahli jurnal Profetik; pernah singgah di KAMMI Unhas; Ketua Kajian strategis Komunitas Intelektual Muda Muslim FIS UNHAS 2003-2004; Wakil Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) Fakultas Hukum Unhas 2004-2005; Ketua Badan Kehormatan Mahasiswa (BKM) Fakultas Hukum Unhas periode 2006-2007; Ketua Kajian Strategis Komunitas Mahasiswa Bima (KMB)-Makassar 2004-2005; Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sul-Sel 2004-2006; Deputi Lembaga Kajian Sosial dan Agama (LEKSA) Makassar 2004-2009; Peneliti lapangan pada Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Jakarta; Koordinator bidang Provokasi Publik Lembaga Peduli Pembangunan Bangsa (LP2B)-Makassar; Project Officer pada Prophetic Institute; Centre For Research, Popular Education and Empowerment–Indonesia; dan sekarang menjabat Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial (PuKAP)-Indonesia. Sekarang sedang menjalani studi perbandingan di Universitas Indonesia. Menulis buku antara lain: Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004); Aib Politik Muhammadiyah (2007); Delegitimasi Terhadap Komisi Yudisial (Kreasi Wacana;2007); Feminisme Profetik (editor) (Kreasi Wacana: 2007): Oposisi Lintas Kelas Mengukuhkan Demokrasi (Naskah Di Juxtapose, Yogyakarta); Sporadisme Oposisi; Sebuah Pengkhianatan Intelektual (Naskah di Kreasi Wacana, Yogyakarta); Predator-Predator Politik; Membongkar Sindikat kekuasaan (Naskah Siap Terbit). HP: 085299262424

Tidak ada komentar: