Selasa, 24 Maret 2009

Mahkamah Konstitusi Menghukum Tanpa Batas

Oleh: Fajlurrahman Jurdi

Fajar Kamis, 19-03-09

Hasil kajian PuKAP-Indonesia beberapa minggu terakhir tentang konstitusi, Pemilu, Demokrasi dan Kapitalisme menemukan berbagai problem bangsa kita. Salah satunya dalam tulisan ini mengenai UUD kita, terutama posisi Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga hukum terpenting di negeri ini. Berikut ini hasil kajian itu.
Salah satu lembaga Negara yang diamanatkan dalam amandemen ketiga UUD 1945 adalah Mahkamah Konstitusi. Ini tercantum dalam Bab IX yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman pasal 24C. sementara pasal 24A dan 24B adalah masing-masing tentang Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan RI adalah merupakan bentuk dari tuntutan reformasi peradilan agar MA tidak berkuasa sewenang-wenang sebagaimana di masa Orde Baru. Juga sebagai bentuk dari komitmen, agar UUD 1945 sebagai dasar bernegara tidak dilecehkan sebagaimana masa lalu.
Semangat reformasi mewarnai aroma perubahan UUD mulai dari perubahan pertama sampai perubahan keempat. Namun di dalamnya juga mengidap penyakit legitimasi dan hierarkis yang menjadi rantai panjang persoalan konstitusi hingga sekarang.
Dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 ditegaskan, dan ini menjadi problem lanjutan dari putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, yakni "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa tentang hasil Pemilu.
Semenjak Pemilu 2004 dan rantai Pilkada secara langsung sebagai akibat dari "hasutan" demokrasi liberal, persoalan hukum, politik, dan kekerasan mewarnai ritual demokrasi di Indonesia. Kekerasan politik dan ambivalensi demokrasi itu, berbarengan dengan tuntutan terhadap lembaga hukum untuk menyelesaikan perkara. Ditambah lagi munculnya produk legislatif yang banyak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga persoalan hukum kemudian menjadi tambah rumit.
Salah satu Putusan yang amat kontroversial adalah putusan MK pada tanggal 16 Agustus 2006, No. 005/PUU-IV/2006 atas UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, terutama mengenai kata "hakim". Bagi MK, kata "hakim" yang tercantum dalam UU KY, tidak termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Padahal dalam UUD baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya, tidak ada pembagian kata "Hakim Agung" atau "Hakim Konstitusi". Tetapi oleh MK, dan keputusan itu amat berani, bahwa kata hakim dibagi, menjadi hakim MA, MK dan hakim PT dan dibawahnya. Tampaknya ini sudah diluar konteks UUD dan MK melewati kewenangan UUD. Inilah upaya "menghukum" tanpa batas, dan celakanya itu dibenarkan oleh UUD.
Setelah selesai putusan ini, ada pertanyaan yang hingga saat ini yang belum bisa dijawab. Siapa yang akan menindaklanjuti keputusan tersebut?. Apabila terjadi penafsiran hukum yang salah oleh MK, maka langkah hukum apa yang akan diambil?. Sementara dalam klausul pasal di atas dikatakan "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final�". Kata-kata ini menutup upaya hukum selanjutnya bagi pihak yang dirugikan.
Akibatnya, KY sampai sekarang tidak memiliki fungsi yang jelas pasca keputusan MK. Juga pertanyaan selanjutnya, Jika UUD memberikan kewenangan kepada MK melampaui UUD, lalu siapa yang akan menjadi eksekutor (yang menjalankan keputusan tersebut?). Di sinilah "banci"-nya DPR hasil pemilu 1999, juga sekaligus "banci"-nya UUD yang kita miliki. Sementara baik dalam UU No. 22 tahun 2004, UU No. 24 tahun 2003, UU No. 5 tahun 2004 masing-masing yang mengatur ketiga institusi kehakiman tidak memberikan instrumen hukum kepada lembaga mana yang akan menjadi eksekutor bagi putusan MK.
Kasus kedua, adalah putusan MK mengenai Pilkada Jawa Timur. Melalui Putusan No 41/PHPU.D-VI/2008, MK memutuskan agar KPUD Jawa Timur (Jatim) melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang. Ada dugaan bahwa putusan itu adalah putusan politik.
Ini dikaitkan dengan posisi ketua MK dan pertimbangan cost politik, serta pertimbangan hukum. Dalam UU Pemilu maupun UU MK, tidak ada klausul yang menyuruh untuk "memilih ulang", akan tetapi yang ada hanya "menghitung ulang suara". Tetapi yang terjadi kemudian adalah memilih ulang, bukan menghitung ulang. Bukankah keputusan itu melanggar hukum?.
Persoalannya MK tidak mengenal kata "melanggar" hukum dalam putusannya. Sebab UUD memberi ruang "nalar" yang sungguh amat merdeka pada MK. Ini menjadi suatu penyakit dalam demokrasi kita, tetapi, sekaligus mungkin inilah yang disebut dengan "kagagapan" demokrasi itu.
MK: Mahkamah Politik
Apabila kita merujuk konteks ini, maka sebenarnya pada bagian-bagian tertentu MK adalah pengadilan politik, bukan pengadilan hukum. Otoritas penafsiran konstitusi sepenuhnya ada di pundak mereka, sementara pada konteks lain, keanggotaan hakim di MK adalah merupakan hasil kolaborasi kuasa politik. Tiga orang dari MA, tiga orang dari DPR, tiga orang dari presiden hingga jumlahnya sembilan orang. Di dalamnya berkecamuk berbagai kepentingan yang hiruk-pikuk.
Mungkin ini merupakan bagian dari cek and balances, agar bisa saling mengontrol, tetapi juga kondisi psikologis hakim yang diproses secara politis dalam pengangkatannya merupakan masalah yang sulit untuk dibuktikan.
Disamping secara tidak langsung, posisi MK ada di atas UUD, maka dengan alasan hukum, MK akan mudah menegosiasikan keputusan-keputusan politis. Padahal seharusnya posisi MK harus dikontrol oleh konstitusi, namun dalam kenyataanya, MK yang mengendalikan UUD.
Tidak ada upaya hukum yang bisa menjerat MK apabila keputusan mereka melanggar nalar konstitusi, juga tidak ada ruang untuk memperbaiki keputusan. Pada akhirnya lembaga ini menjadi absolut dan otoriter. Karena itu, lembaga yang pada awalnya secara filosofis membawa semangat perubahan justru masuk dalam jurang arogansi konstitusional.

Dengan berdasar dan berpijak atas UUD, MK bertindak tanpa batas, menghukum tanpa kendali dan memutus tanpa kontrol, kecuali dengan alasan menjaga otoritas konstitusi. Satu-satunya alasan hukum adalah pasal 1 UUD 1945, dan UU No 24 tahun 2003 tentang MK, sedangkan secara politis, dalam konteks cek and balances keberadaan MK adalah representasi dari trias politica.
Persiapan MK menjelang Pemilu 2009
Sudah diduga oleh banyak kalangan, bahwa Pemilu 2009 ini akan membuat MK bekerja ekstra keras. Maka dipersiapkan ruang sidang teleconference di berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia agar bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa Pilkada maupun Pemilu tidak harus ke Jakarta, cukup datang di tempat universitas-universitas yang telah ditunjuk oleh MK dan memiliki fasilitas teleconference. Untuk Sulsel, ruang sidang tersebut bertempat di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Sengketa Pemilu 2009 ini, akan terjadi antara pihak-pihak dibawah ini, yaitu:

1. Antar calon anggota legislatif
2. Antara calon anggota legislatif dengan partai
3. Antar partai kontestan Pemilu.

Kasus ini tidak akan sedikit jumlahnya nanti. Bayangkan, kalau dalam satu Daerah Pemilihan (Dapil) saja untuk Caleg DPRD di Kota Makassar jumlah Caleg berkisar antara 100 sampai 150 orang. Di kabupaten lain juga berkisar antara 25 sampai 50 orang dalam satu Dapil untuk kapubaten/kota. Untuk provinsi dan pusat juga jumlahnya bervariasi. Tergantung dinamika yang terjadi di suatu daerah. Dari jumlah secara keseluruhan itu, 10 persen saja yang bermasalah, maka MK harus bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan kasus ini.
Jika MK, misalnya mengabulkan 3-5 persen dari jumlah secara keseluruhan gugatan sengketa Pemilu, institusi mana yang akan menjadi eksekutor dari hasil putusan tersebut?. Jika tidak ada eksekutor, maka untuk apa keputusan itu dikeluarkan?. Tidak kah keputusan itu akan menambah masalah baru bagi MK dan bagi demokrasi?. Tampaknya disinilah kegagapan instrument hukum kita.

Dengan melihat dan menduga akan muncul problem seperti ini, maka harus ada tawaran alternatif yang harus segera diambil, yaitu:
1. Harus segera dibentuk lembaga atau intitusi yang akan menjadi eksekutor bagi keputusan MK.
2. Lembaga/institusi tersebut harus segera dikonsolidasikan dengan DPR, Presiden, MA, KY dan KPU.
3. MK harus menjaga independensi dalam mengambil keputusan, karena ada asumsi, akan terjadi anarki politik yang berbarengan dengan ritual demokrasi.
Inilah persoalan penting yang akan segera menghadang Pemilu 2009 yang berkaitan dengan MK. Juga hukuman-hukuman tanpa batas yang dimiliki oleh lembaga ini. Karenanya, harus segera ada instrumen yang membatasi kekuasaan MK agar tidak terlalu absolut.

Tidak ada komentar: